Kehilangan satu orang tersayang saja sudah menyisakan duka yang panjang. Bagaimana jika dua atau tiga orang sekaligus? Sampai hari ini aku masih belum mampu memahami banyak hal dibaliknya.
Setelah kehilangan tiga orang tersayang dalam waktu kurang dari dua bulan, bisa kah kalian membayangkan rasanya? Percayalah, banyak yang menanyakan hal yang sama kepadaku. Gimana rasanya kehilangan banyak orang dalam waktu yang berdekatan?
Rasanya seperti berjalan di tengah kabut tebal, yang benar-benar sangat tebal bahkan kamu tak mampu memandang ujung jari di depan matamu. Sangat tebal dan dingin. Ada banyak rasa takut, rasa khawatir, rasa tidak tahu, rasa tidak paham. Ada banyak kata “mengapa”, “bagaimana”, “lalu apa” dan berbagai pertanyaan yang tidak pernah ada jawabannya. Ada banyak mimpi yang tiba-tiba hancur seperti bangunan lego yang sudah tertata tinggi tiba-tiba berantakan berserakan dan banyak kepingan yang hilang hanya dalam waktu sekejap. Tidak mungkin dibangun lagi dengan utuh seperti semula. Tidak mungkin berjalan tanpa menabrak sesuatu. Tidak mungkin keluar dari kabut tanpa badan basah kuyup.
Apalagi kejadian seperti ini bukan pertama kalinya buatku. Sebelas tahun yang lalu aku kehilangan Bapak dan adik berselang 17 hari saja. Bukan karena musibah kecelakaan atau pandemi, bukan. Bapak meninggal karena sakit jantung. Adikku sampai sekarang tidak diketahui sakit apa. Hanya sebelum meninggal itu dia demam tiga hari. Demamnya pun bukan yang demam tinggi. Di sela demamnya masih bisa membantu ibu menjemur baju dan berkomunikasi dengan normal, tidak nampak wajah seperti orang sedang sakit.
Pun begitu awal tahun 2023 kemarin. Aku kehilangan suami, papa mertua dan ibuk hanya berselang beberapa hari saja. Suamiku meninggal awal Februari 2023. Papa meninggal tanggal 27 hari kemudian. Sedangkan ibuk meninggal 21 hari setelah kepergian papa. Ketiganya meninggal karena sakit yang hampir sama. Suamiku meninggal karena pecah pembuluh darah di otak, 3 hari di rawat di RS dalam kondisi koma, lalu meninggal. Ibu dan papa memang sudah sakit stroke sebelumnya. Apalagi ibuku memang sedang menurun drastis kesehatannya.
3 kali mendirikan tenda dan mengibarkan bendera kematian bukan hal yang mudah. Jika orang lain melihatku masih bisa wara-wiri, bertemu banyak orang tanpa air mata, percayalah, dibalik itu aku sempat tidak sanggup bangun. Mataku sembab berkali-kali hingga hari ini. Segala macam penyakit masa kecil, auto imun, mulai bermunculan kembali. Aku pun tumbang berkali-kali.
Pun dari kondisi psikologis, aku beberapa kali terapi untuk memulihkan luka batinku. Aku tidak sekuat itu. Aku pun membutuhkan bantuan, aku pun terluka. Tentang luka dan penyembuhan psikologis ini mungkin akan aku bahas di bagian 2. Doakan aku sanggup membuka luka itu satu persatu dan mengupasnya ya…
Namun yang jelas, aku bisa melewati semua itu dan masih bisa terlihat tegak berdiri karena bantuan banyak orang. Ucapan terima kasih tak terhinggaku untuk adik-adikku, adik-adik iparku, dan sahabat-sahabatku yang tak pernah lelah menanyakan kabarku hampir setiap hari hanya untuk memastikan aku baik-baik saja. Bahkan dua kunyilku yang entah kenapa bisa menjadi super protektif melebihi ayahnya, yang menjagaku dari segala sisi, yang bawel setiap saat melebihi bawelnya ibukku.
Duka pasti meninggalkan luka. Tapi luka bukan sesuatu yang tak bisa disembuhkan. Bahkan luka yang cukup dalam pun, Allah sanggup menyembuhkan melalui ‘tangan-tangan’ semesta yang bekerja untuk-NYA.
Duka dan luka ini masih belum sembuh benar. Aku masih harus melewati beberapa kali lagi rangkaian terapi dan konsultasi. Aku memang bisa berjalan meski tertatih. Tapi suatu hari, aku ingin kembali bisa berlari dan terbang tinggi. Aku semestinya bisa kembali, untuk mengantarkan dua bocahku kembali meraih angkasa. Doakan yaa…
Hari itu tanggal 7 Februari sekitar jam 8 malam aku memberinya kabar, “Mas, kayaknya aku gak bisa pulang besok. Ibuk lambungnya pendarahan lagi.” Ketika melontarkan kalimat itu, aku bersiap untuk diomeli. Hal yang biasa Ia lakukan, bahwa aku melupakan ngopeni diriku sendiri, lupa ngopeni anak-anak, dan lain-lain.
Tak disangka ia hanya menjawab singkat “iya, gpp”.
Aku lega. Lalu aku lanjut menanyakan kabar anak-anak, dan kami bercerita tentang anak-anak hari itu. Ia bercerita bagaimana anak-anaknya nekat pulang naik sepeda bersama teman-temannya selepas kerja kelompok. Aku lupa menanyakan kabarnya.
8 Februari jam 00.55 wib aku terbangun dengan perasaan kaget karena lupa mengambil ponselku yang tadi masih mengisi daya di ruang tunggu pasien rumah sakit. Bergegas aku keluar dari ruang perawatan ibuk, dan mengambil ponsel yang ada di ruang tunggu.
Tiga menit aku membaca segala macam pesan yang masuk, tiba-tiba ada pesan baru dari anakku. Saat itu jam 01.01 “Bund, ayah sakit. Uti panik.” Perasaan kaget, was-was, dan khawatir campur aduk menjadi satu. Bergegas aku telpon anakku menanyakan apa yang terjadi.
Dengan lugas anakku menjelaskan situasi yang ia lihat dan rasakan. Merasa aku bisa menduga apa yang sedang terjadi, aku memberikan instruksi untuk Mama dan anakku melalui telepon.
“Jangan tunggu apa-apa, bangunin tetangga, bawa ke rumah sakit sekarang. Adik cari kartu BPJS ayah di dompet. Dompet ayah ada di… Bla… Bla…”
Dari situasi yang digambarkan anakku, aku menduga suamiku mendapat serangan stroke pertama. Lekas aku telpon sepupunya yang kemungkinan masih bekerja larut dan rumahnya dekat. Aku hubungi juga kawannya yang bisa membantu mama mengurus proses masuk UGD, karena aku tahu pasti mama sedang panik.
Jam tiga dini hari, sepupu yang menunggu di rumah sakit mengabarkan suamiku sudah di UGD, kondisinya tidak sadarkan diri dan kemungkinan yang terjadi bukan penyumbatan melainkan pecah pembuluh darah di otak dan membutuhkan rujukan ke rumah sakit yang lebih lengkap fasilitasnya. Lekas aku telepon adiknya di Bandung dan tante yang bisa membantu kami memasukkan Mas Vino ke rumah sakit dengan prioritas penanganan yang lebih baik.
Saat ponselku tak berhenti berdering itu aku sudah berada di bus malam yang riuh dengan lagu dangdut koplo yang kencang. Suara penjelasan dokter di ponsel bersahutan, timbul tenggelam dengan suara musik yang hingar bingar. Dokter menjelaskan saat itu suamiku dalam kondisi koma dan pembuluh darah yang pecah sangat banyak. Namun begitu untuk kepastian, dokter masih menunggu hasil CT scan keluar.
Jam 05.58 wib aku sudah mendarat di UGD rumah sakit dan berbincang dengan dokter tentang hasil CT scan. Bahwa suamiku harus segera dilakukan operasi bedah otak di rumah sakit rujukan yang lebih lengkap, bahwa kondisinya saat itu sangat buruk dan kemungkinan sangat kecil untuk pulih meskipun sudah dilakukan operasi dan bla bla lainnya yang aku cerna dengan otakku sesegera mungkin untuk bisa kuambil keputusan.
Aku memutuskan ia harus dioperasi, ia harus mendapat penangan terbaik, aku memperjuangan segala hak hidupnya dan membawanya ke rumah sakit dengan fasilitas penanganan trauma otak dan pasca trauma terbaik di kota. Dengan bantuan banyak pihak, jam 08.00 pagi aku sudah berada di RS berbeda dan berkonsultasi dengan dokter spesialis menjelang persiapan operasi.
Proses pemindahan ke rumah sakit sempat terkendala karena lagi-lagi terjadi pendarahan hebat dan harus ditangani selekasnya. Dokter memberikan keterangan bahwa dalam masa pemindahan bisa saja terjadi hal-hal darurat di jalan dan mengancam keselamatan suamiku. Aku pasrah, sepanjang jalan aku berdoa masih diberi kesempatan untuk bersamanya merawat anak-anak. Air mata dan doaku berkejaran dengan suara raungan sirine ambulan di sepanjang perjalanan.
Jam 11.00 suamiku memasuki ruang operasi dalam kondisi koma. Aku pegang tangannya erat di sepanjang lorong menuju kamar operasi sambil melantunkan banyak doa dan harapan, meski nuraniku yang lain menentang karena aku sudah melawan pesan suami. Suamiku pernah berkata jika dia dalam kondisi kritis dengan kemungkinan sangat kecil untuk pulih, ia melarangku melakukan tindakan apapun yang membuat aku dan anak-anaknya sangat repot.
Aku mengabaikan pesan itu. Aku hanya mau dia ada dengan segala cerita-ceritanya dan perhatiannya, dalam kondisi apapun. Aku membutuhkannya.
Pukul 16.00 wib operasi selesai, dan suamiku dipindahkan ke ruang ICU untuk proses observasi. Kondisinya masih koma. Wajahnya nampak lebih tenang seperti tertidur. Hanya saja ada pipa putih lentur besar yang masuk ke tenggorokannya dengan banyak kabel dan selang di tubuhnya. Melihatnya dalam kondisi seperti itu batinku menjerit, menggugatnya untuk segala mimpi yang pernah ia katakan sebelumnya. Aku sangat ingin dia bangun.
Dua hari menjaganya di luar ruang ICU, aku tidak pernah tidur nyenyak. Kondisiku mendadak sangat lelah. Kelelahan yang berbeda dibandingkan dengan 8 hari menjaga ibuk di rumah sakit di Madiun. Aku ingin pulang memeluk anak-anakku. Setiap pagi dokter rutin memberikan update kondisi suamiku, dan mengizinkan aku menengoknya. Kondisinya sempat meningkat. Score GCSnya antara 4-5. Aku bisa memegang tangannya, kuajak ngobrol, kucium pipinya sambil berusaha tidak menyenggol segala peralatan yang ada di sekelilingnya.
Kondisinya masih koma. Suhu tubuhnya tinggi, menunjukkan ia berusaha berjuang melawan segala komplikasi paska operasi. Saat kuajak ngobrol, pupil matanya bergerak meski terpejam. Seperti berusaha membuka mata, tapi tak mampu.
Satu per satu kawannya datang menemuiku. Malam hari, tanggal 10 Februari 2023, jam 10.30an aku merasa sangat lelah, dan sangat ingin tidur nyenyak. Malam itu aku tertidur. Sangat nyenyak. Sampai sekitar pukul 01.20an ponselku berdering. Suster mencariku. Aku ditegur karena dipanggil berkali-kali tidak ada sahutan. Suster mengira aku pulang. Ternyata aku tertidur sangat nyenyak hingga tak mendengar suara panggilan.
Aku dipanggil ke ruang dokter, dan dokter memberi tahu kondisi suamiku kritis, denyut jantungnya terus melemah. Beberapa tindakan darurat sudah dilakukan. Ia memintaku melihat kondisi suamiku dan berharap suaraku dapat memacu detak jantungnya. Aku bisikkan banyak kata, hingga akhirnya aku memilih bisikan talqin di telinganya.
10 menit menemaninya berdiri di sisi ranjangnya kakiku lemas. Meski tidak menangis, tubuhku tidak bisa bohong. Aku tidak kuat berdiri. Suster memberiku kursi. Aku telpon adiknya memberitahu kondisi terakhirnya. Aku berusaha berdiri lagi untuk menjangkau telinganya. Kembali kubisikkan kalimat-kalimat talqin di telinganya, berharap ia mendengarnya dan menirukannya dalam hati. Hingga akhirnya bunyi mesin meraung panjang, dengan grafik datar terlihat di layar. Kakiku tidak lagi mampu menopang tubuhku. Badanku lemas. Aku tahu ini saatnya aku merelakannya. Aku menolak tindakan emergency terakhir yang akan dilakukan. Tak lama kemudian dokter meminta izin melepas semua peralatan yang ada di tubuhnya agar aku leluasa mendekat.
Tenagaku habis. Bahkan untuk menangis pun aku tak sanggup. Aku ingat janjiku akan pulang hari sabtu. Aku memang pulang hari Sabtu, bertemu anak-anakku, tapi dengan membawa jenasah ayahnya bersamaku. Mengingat itu, tangisku pecah di jalan. Kuhabiskan air mataku di jalan, agar ketika di rumah, air mataku tak banyak tumpah. Agar aku bisa fokus mengurus segala proses pemakaman dan menemani anak-anaknya.
Semua proses pemakanan berjalan lancar, lebih cepat dari perkiraan. Bahkan anak-anak sanggup ikut memandikan jenasah ayahnya untuk terakhir kalinya dan ikut sholat jenazah. Kawan-kawannya sangaaaat banyak. Mulai dari yang pernah aku kenal, hingga yang tidak pernah aku tahu sama sekali. Terkadang aku termangu. Bahkan di saat dia tidak ada pun, perhatiannya tidak pernah berhenti mengalir untukku dan anak-anaknya lewat kawan-kawannya.
Setiap mendengar kata-kata “ayahmu kawan yang baik…” Dari teman-temannya, anakku berusaha tersenyum di antara air matanya.
Mas Vino mungkin sudah tiada. Namun yang jelas kami tahu, segala kebaikan yang pernah ia tanam, kini menjadi hasil yang bisa dituai anak-anaknya. Merasakan segala perhatian dan kebaikan yang diberikan oleh semua teman-temannya. Bahkan saat pengajian, selalu ada saja temannya yang datang.
Aku mendengar ia bersuara lirih kepadaku untuk kalian semua, terima kasih
Blog, Antara Batas Kewarasan dan Kesempatan Kedua – Aku terpaku membaca sebuah timeline di media sosial. Ada penyelenggara acara yang sedang membicarakan seorang peserta yang dianggapnya tak bertanggung jawab. Si penyelenggara menyebarkan berita disertai ajakan untuk memasukkan peserta tersebut ke daftar hitam. Si peserta melanggar ketentuan. Ulahnya tak termaafkan, tidak ada lagi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan.
Lalu ingatanku berlari ke beberapa tahun silam, ketika aku mulai memasuki dunia blog sebagai penghasil uang. Saat itu aku pernah mengikuti sebuah acara di mana pesertanya wajib mengenakan dress code. Semua pemberitahuan tentang dress code dan lain sebagainya ini dibagikan di sebuah grup yang tidak kumiliki aplikasinya. Bukan sebuah kesengajaan, karena tidak mendapat pemberitahuan bahwa semua peserta wajib memiliki aplikasi tersebut, maka informasi detail acara ini pun tidak aku dapatkan.
Akibatnya aku pulang tidak membawa goodiebag seperti peserta yang lain. Beruntung penyelenggara acara masih memberiku upah untuk kedatangan dan tulisanku. Peserta yang lain cukup baik dengan memberitahuku tanggal deadline dan lain sebagainya. Namun sepertinya si penyelenggara acara sudah menganggapku bersalah dan kapok dengan performa kerjaku, maka aku tak lagi mendapatkan peluang kerjasama dari si penyelenggara acara.
Aku beruntung punya banyak teman dan penyelenggara acara lain yang memberikanku kesempatan kedua dari kesalahan-kesalahan yang tak sengaja aku buat. Dari mereka aku belajar bahwa memberikan kesempatan kedua dari kesalahan yang masih bisa kita toleransi itu memberikan dampak yang besar. Karena dari kesempatan kedua itulah aku sekarang bisa berdiri di sini, bekerja sama dengan banyak orang-orang hebat dan instansi-instansi yang lebih besar.
Jika kalian bertanya pada banyak blogger di luar sana yang pernah membantuku ketika aku baru mengenal dunia monetize, kalian akan banyak mengetahui aib-aibku. Akupun pernah melakukan kesalahan seperti banyak blogger lainnya. Namun aku beruntung memiliki kawan-kawan yang mau mengajariku tentang banyak hal, tidak sekedar menghakimi kesalahanku.
Untuk itu satu hal yang tidak boleh dilupakan, keinginan untuk terus belajar agar tidak mengulang kesalahan yang sama. Layaknya pekerjaan yang lain, kerja lepas inipun menuntut profesionalisme. Namun begitu tidak dapat dihindarkan, di dunia kerja manapun, selalu ada anak magang, anak yang sedang belajar yang acap melakukan kesalahan. Anak-anak ini pun berhak untuk mendapatkan pelajaran dan kesempatan kedua untuk memperbaiki kesalahannya.
Blog bagiku bukan sekedar ajang curhat atau mesin pencari uang. Ini tempatku menempa diri dan menjaga batas kewarasan. Dari deadline-deadline yang diberikan aku menempa diriku melampaui keterbatasan dalam banyak hal, waktu, pengetahuan, maupun kreativitas.
Berkat blog aku mampu menjaga kewarasan ketika pertama kali aku memutuskan ikut suami tinggal di rumah mertua dan harus mengasuh bayi kembar prematur dengan segala komplikasinya. Menulis di blog menjadi pelarianku ketika kata-kataku hanya tercekat di tenggorokan dan berubah menjadi air mata yang tak berhenti mengalir.
Tulisan-tulisan itu juga yang akhirnya menemui takdirnya mengantarkanku pada salah satu media online terbesar yang membahas parenting. Dari tulisan-tulisanku itulah akhirnya aku bisa menjadi salah satu moderator forum online dan bertemu banyak orang-orang hebat, mendapat kesempatan berkolaborasi.
Blog menjadi salah satu jalanku menemukan kecerewetan dalam diriku. Sebelumnya aku mengira aku adalah orang pemalu yang tidak pandai berbicara. Aku hanya bisa menulis, yang selama ini tulisanku hanya sebatas di buku-buku bekas dan menjadi tumpukan koleksi ibuku. Namun sejak menulis di blog, di baca oleh lebih banyak orang, aku merasa takjub ketika tiba-tiba mendapat email ucapan terima kasih karena merasa terbantu berkat tulisanku.
Aku tidak pernah mengira ternyata aku orang yang bisa berbicara dan mengajarkan beberapa hal kepada orang lain. Meski akhirnya diikuti rasa kekhawatiran apakah yang aku tuliskan sudah benar atau jangan-jangan aku mengajarkan hal yang salah. Anak muda sekarang bilang itu sikap “overthinking” yang tidak beralasan. Salah atau benar serahkan saja pada waktu. Karena salah atau benar adalah sebuah proses yang harus dilalui oleh semua orang. Proses inilah yang mengantarkan kita pada kematangan dalam hidup.
Seperti layaknya seorang anak magang yang melakukan kesalahan dan butuh kesempatan kedua, maka demikian juga proses belajar dalam hidup. Bagi seorang blogger, proses pengambilan keputusan dan kematangan dalam berpikir ini tampak dari semua tulisan-tulisannya dari awal hingga akhir. Caranya menulis, gaya bahasanya, proses berpikirnya terpampang dan bisa dibaca.
Begitulah blog bagiku. Ia adalah tempat untuk menjaga kewarasan, taman bermain dan berproses, tempat di mana aku bisa melakukan kesalahan dan mendapatkan kesempatan kedua, tempat aku mendapat pelajaran tentang banyak hal. Ayo menulis dan jangan takut berproses, karena kebenaran tidak akan dapat ditemui tanpa peran-peran orang yang berani belajar dan melakukan kesalahan!
Nduk, dulu kamu bertanya padaku sebesar apa bumi itu? Lalu kamu belajar tentang planet-planet lain. Kemudian kamu tahu bahwa jagat raya sungguh maha luas dahsyatnya.
Nduk, sudahkah kamu menyadari bahwa kita ini tidak lebih besar dari setitik debu di jagat raya ciptaan-Nya? Ya, sekecil itulah keberadaan kita. Karena itu Nduk, jangan pernah takut diremehkan. Kita memang sekecil itu.
Jangan pernah takut diremehkan, Nduk! Karena dari hal remehlah kita lebih mudah memulai apa saja. Dari hal yang paling remeh dan kecil kita bisa lebih mudah berkembang menjadi besar. Karena menjadi kecil tidak akan membuatmu rugi setitik pun.
Jangan pernah takut diremehkan, Nduk! Karena hinaan dan remehan orang tidak membuktikan siapa dirimu. Hinaan orang hanya menunjukkan siapa mereka sebenarnya. Karena itu jangan pernah takut diremehkan. Menjadi hina di mata orang lain tak membuatmu menjadi rendah di mata Tuhan. Berdirilah dengan anggun!
Nduk, meski kita sekecil itu di tengah jagat raya, makna keberadaanmu jauh lebih besar dari luasnya dunia. Untuk kami yang menyayangimu, kamu adalah segalanya, jagat raya kami. Tempat kami rela menempuh segalanya demi kamu.
Nduk, hal yang kecil dan remeh bukan berarti tak berarti apa-apa. Hal yang kecil dan remeh adalah awal dari segalanya. Dari hal yang kecil dan terlihat remehlah seluruh jagat raya ini dibuat. Tanpa hal kecil, sekecil partikel tak akan pernah ada luasnya jagat raya.
Nduk, jika saja semua manusia takut diremehkan dan dibilang kecil, maka ia tak pernah siap menjadi besar. Untuk menjadi besar ia harus melewati masa kecil. Karena itu Nduk, jangan pernah malu dianggap kecil.
Nduk, kalau saja manusia takut diremehkan, maka ia tak layak menjadi sosok yang mulia. Karena sosok mulia itu berarti ia telah melewati banyak hal remeh yang membawanya menjadi bijak dan besar.
Nduk, rasa takut diremehkan tidak akan membawamu ke mana-mana. Berusaha nampak hebat demi mengejar pengakuan orang lain hanya akan membuat kita menjadi rapuh. Mudah tumbang ketika pengakuan itu tiba-tiba hilang. Jadi jangan pernah hanya sekedar terlihat besar.
Nduk, tahukah kamu, dianggap kecil, remeh dan hina itu tidak semenakutkan itu. Dipandang kecil, remeh dan hina adalah satu langkah kebebasan. Inilah titik di mana kamu bebas berbuat apa saja tanpa takut orang lain menilaimu. Di titik inilah Nduk, kamu bebas untuk melompat. Karena sekecil apapun lompatanmu, maka kamu sudah membuat perubahan lebih tinggi.
Nduk, teruslah menari. Meski sekecil apapun kamu di mata orang lain. Teruslah bergerak, tanpa merisaukan harus dilihat orang. Jangan berhenti mengepakkan sayap, tak peduli seberapa tinggi kamu terbang. Karena tarianmu adalah semesta bagi orang yang menyayangimu. Karena kepakan sayapmu adalah penyejuk bagi orang-orang sekitarmu. Kamu adalah segalanya.
Menjadi seorang ibu sekaligus blogger adalah hal yang sangat menarik. Sambil momong anak, bisa nulis tentang banyak hal, bahkan Alhamdulillah bisa mendatangkan pundi-pundi rupiah untuk tambahan beli emas berlian. Lumayan kan ya…
Nah, tapi ternyata ketika menjalaninya, tidak semudah itu, Fergusso! Tantangan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya menanti di depan mata. Seberat apa sih tantangan atau kesulitan menjadi seorang ibu sekaligus blogger?
Mungkin tantangan dan kendala antara satu orang akan berbeda dengan orang lainnya. Kesulitan yang dihadapi tidak selalu sama, bergantung dengan situasi dan support system di balik rumah tangga masing-masing. Sebagai gambaran, berikut kesulitan dan tantangan yang dihadapi sebagai blogger sekaligus seorang ibu.
1.Membagi Waktu
Ini benar-benar tidak mudah, karena di saat mood menulis sedang tinggi-tingginya, ide sudah menggantung di depan mata, tiba-tiba anak nangis minta ditemani main. Tentu saja ini tidak bisa diabaikan, harus kembali kepada prioritas utama sebagai seorang ibu. Akhirnya lebih memilih pegang anak.
Sebenarnya kalau bisa dan lebih pinter sih bisa sambil gendong anak dan pegang bolpoin atau tablet yaa… Tapi kalau anaknya kembar kayaknya keburu emosi duluan sebelum pegang alat tulis untuk menulis ide.
Namun begitu jangan berkecil hati. Banyak kok blogger-blogger kece yang tetap juara dalam menulis dan juga juara dalam momong anak. Coba tanyakan sama Jihan Davincka atau mbak Siti Maryamah. Tulisannya keren-keren, tajam tapi tetap bisa sambil momong anak.
2. Mendatangkan Pengunjung
Untuk kalian yang tujuan ngeblognya untuk meraih pundi-pundi rupiah, belajar SEO (Search Engine Optimization) atau pengoptimalan mesin telusur adalah hal yang WAJIB. Dengan ilmu SEO inilah artikel blogmu akan bisa nongol di halaman pertama mesin pencari, sehingga para netizen bisa mampir dan tersesat di alamat blog kita melalui mesin pencari seperti google.
Ini salah satu ilmu yang sampai sekarang belum bisa saya kuasai. Buat saya, lagi-lagi, untuk menguasai ilmu ini dibutuhkan waktu untuk belajar. Ilmu SEO ini selalu berubah seiring perkembangan teknologi kecerdasan buatan. Teknologi terus berkembang, maka rajin-rajinlah update ilmu SEO.
Bahkan bila tertarik dan berhasil menguasai ilmu SEO ini, kita bisa ikut lomba blog yang hadiahnya sangat lumayan menggiurkan lho. Jumlah hadiahnya setara dengan waktu dan tenaga yang dikeluarkan untuk belajar. Jadi worth every penny kan!
Namun bila alasan menulis blognya untuk stress release atau hanya untuk menyalurkan 40.000 kata setiap hari ya bisa selow. Artinya berapapun pengunjung yang datang ke blog bukan menjadi tujuan utama.
3. Mengelola Media Sosial
Menjadi seorang blogger sebagai sumber penghasilan adalah satu paket dengan content creator social media. Maka mengelola media sosial adalah sebuah keniscayaan. Bukan hanya satu, tapi semua media sosial seperti facebook, instagram dan twitter. Mengelola ketiganya dibutuhkan waktu khusus untuk membuat konten dan bersosialisasi, menyapa dan menjawab follower yang mampir.
Menjadi blogger dengan media sosial yang aktif dan engagement tinggi tentu menjadi nilai lebih. Saat ini banyak perusahaan yang membutuhkan content creator untuk social media. Jadi, jika kalian berminat untuk menjadi blogger, ada baiknya luangkan waktu untuk membuat konten media sosial dan belajar tentang algoritma dan karakter masing-masing media sosial.
Nah,
Ketiga hal di atas hanyalah sedikit dari kendala yang sering dihadapi seorang ibu sekaligus blogger seperti saya. Kenyataan di balik layar sebenarnya masih banyak kendala-kendala lainnya. Namun begitu, sampai hari ini saya masih tetap menulis dan menjadi seorang blogger maupun content creator.
Kunci dalam menghadapi semua tantangan-tantangan tersebut adalah BELAJAR, BELAJAR dan BELAJAR. Jangan pernah lelah untuk terus belajar. Jika hari ini kita hanya mampu membagi waktu untuk menulis 3 kata, besok kita belajar lagi untuk bisa membagi waktu untuk menulis 10 kata. Begitu saja terus. Progress lambat tidak apa-apa, yang penting terus maju. Berhenti sesaat tidak masalah, yang penting selalu ingat untuk bangkit lagi.
Jangan pernah takut dicibir orang. Dunia content creator kadang memang kejam, ada banyak cibiran dan omongan miring. Jangan izinkan semua itu menjadi hal yang membuat kita berhenti menulis. Jika menulis untuk kewarasan, maka apapun yang ada di depan mata, teruslah menulis. Menulis untuk diri sendiri bukanlah sebuah dosa!
Menceritakan kisah dengan teman-teman SD itu seperti memutar ulang memori saat masih introvert dan sangat pendiam.
Seorang Wiwid kecil adalah gadis pendiam, tertutup dan tidak percaya diri. Gambaran gadis cilik yang susah mengekspresikan rasa senang, sedih, takut atau marah. Sejak usianya masih single digit, dia sudah terbiasa mendapat penghakiman-penghakiman tentang kondisi keluarganya. Maka dia tumbuh menjadi gadis cilik yang pendiam dan tidak percaya diri.
Begitulah masa kecil saya. Tidak banyak teman yang saya miliki ketika masih SD. Tidak banyak teman yang mau datang dan bermain ke rumah. Banyak hal yang melatarbelakangi, tidak untuk diceritakan di sini. Namun satu hal yang pasti, gadis cilik pendiam itu memiliki tekat yang kuat dan cukup tangguh menghadapi terpaan angin.
Gadis cilik yang pendiam dan tidak percaya diri tentu saja menjadi sasaran empuk perundungan. Begitupun saya. Si perundung bukan dari teman-teman seangkatan, tetapi justru dari kakak-kakak kelas yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke atas dan memiliki geng teman wanita.
Saya tahu dan sadar sering ditertawakan kakak-kakak kelas setiap kali lewat. Mereka sering tertawa dan berteriak di belakang punggung saya, tentang bentuk badan saya yang mungil dan kerempeng, tentang baju yang saya pakai, atau tentang keluarga saya. Saya tidak marah, saya tidak sedih atau menangis, saya hanya tidak suka. Itu saja.
Perasaan itu tidak bisa saya ceritakan pada siapa-siapa. Saya tidak terlalu peduli dengan yang mereka tertawakan, toh mereka tidak pernah menyakiti tubuh saya. Tetapi ternyata semua cercaan itu turut memiliki andil dalam membantuk saya menjadi anak yang tidak percaya diri. Saya memiliki rasa takut menjadi bahan tertawaan dan menjadi pusat perhatian.
Perundungan, mendapat stempel-stempel buruk, ditertawakan di belakang, dilihat dari atas ke bawah seolah yang melekat di tubuh saya adalah kesalahan, sudah menjadi berkali-kali saya lewati. Bukan cuma saat masih SD, hingga sekarang dan memiliki anak pun saya masih pernah menerima tindakan serupa.
Tapi karena sudah “terlatih” sejak kecil, sekarang hal itu tidak menjadikan saya tumbang atau menyerah. Sekarang saya bisa senyum sama mereka dan melangkah anggun di depannya. Karena ternyata berkali-kali pula terbukti bahwa para perundung tersebut tidak pernah bisa melangkah lebih jauh dari yang pernah saya lewati. Mereka tidak pernah menjadi lebih kuat dari saya. Mereka juga tidak pernah bisa lebih sukses melakukan sesuatu dari saya. Jadi kenapa harus tidak percaya diri?
Namun tidak semua masa SD saya sesuram itu kok. Ketika kelas 4 saya mendapat teman seorang anak baru yang berkebutuhan khusus. Kami bersahabat sangat dekat. Kemanapun saya bermain, selalu ada dia. Dia juga satu-satunya yang mau main ke rumah. Dia juga yang selalu memberi saya semangat dan membuat saya tahu artinya “dibutuhkan”.
Teman spesial ini yang menawarkan saya arti persahabatan. Kami bersama-sama, terus duduk sebangku hingga kelas 1 SMU, hingga akhirnya dia masuk ke SMU inklusi yang cocok untuk kebutuhannya. Kami bersahabat sampai sekarang dan masih saling kunjung ketika mudik.
Bagaimana pengalaman kalian dengan kawan-kawan masa kecil? Pernahkah kalian mendapat perundungan di saat kecil? Apa efeknya di masa kini buat kalian?
Sekarang saya bisa berkata, terima kasih untuk teman-teman SD yang dulu sempat merundung, karena dari mereka saya belajar banyak hal hingga bisa menjadi sekarang. Dari mereka saya belajar mengenali teman toxic, dan menemukan banyak baik yang supportif. Sekarang saya bisa memeluk mereka dengan tulus setiap kali bertemu di saat mudik lebaran. hehehe… Cheers!
TEMAN TAPI TOXIC, 10 CIRI-CIRI DAN 6 CARA MENGHADAPINYA
Sering dengar istilah toxic friend? Tahu gak sih apa itu Toxic Friend? Toxic Friend adalah teman yang banyak memberikan pengaruh buruk pada kita. Bahkan tak jarang tipe teman seperti ini sangat menjengkelkan, selalu membawa aura negatif.
Teman seharusnya menjadi partner yang selalu membawa kita bersama-sama menjadi lebih baik, saling berbagi dan membantu dalam menghadapi masalah. Teman biasanya bisa menjadi tempat curhat, tempat berbagi tawa dan tangis dan saling menguatkan.
Untuk beberapa orang memiliki teman toxic itu susah dibedakan. Awalnya merasa teman tersebut asik-asik saja, tapi tanpa disadari teman tersebut selalu meniupkan hal-hal yang negatif yang bisa jadi lama-lama akan menjadi kebiasaan juga buat kita. Jadi berhati-hatilah memilih teman.
Untuk kalian yang sulit mengenali, berikut beberapa ciri-ciri teman yang toxic:
Teman Manipulatif
Ada orang yang berpura-pura menjadi teman baik hanya untuk mencapai tujuannya sendiri. Tipe teman seperti ini biasanya hanya memanfaatkan keberadaan kita saja tanpa bersusah payah memikirkan kita. Mereka adalah orang-orang yang memanipulasi hubungan persahabatan untuk keuntungan pribadi.
Teman Posesif
Ada beberapa teman yang dia tidak mau kita punya teman lain. Kemana-mana maunya harus sama dia saja. Kalau melihat kita asik ngobrol dan tertawa dengan orang lain, dia akan marah besar. Teman posesif seperti ini hanya akan membatasi ruang gerak kita. Bahkan orang tua kita saja tak seposesif itu, bukan?
Teman Vampir
Teman tipe ini adalah teman yang menghisap aura positif kita. Dia akan melihat segala sesuatu dari segi negatif saja. Semua hal baik tidak akan tampak di matanya. Teman seperti ini tidak bisa melihat temannya bahagia. Dia akan membisiki kita dengan hal-hal negatif yang akan langsung menghisap habis energi positif kita.
Teman Kompetitif
Teman yang seperti ini selalu tidak mau kalah dan ingin dipandang lebih. Dia tidak bisa melihat temannya memiliki pencapaian di atasnya. Kompetisi yang berlebihan hanya akan menimbulkan rasa saling tidak percaya dan penuh rasa iri. Teman harusnya bisa supportif, mendukung kita di saat di bawah maupun di atas.
Teman Drama
Pernah punya teman yang isinya selalu keluhan setiap hari di chat maupun saat ketemu? Seolah hidupnya menderita terus gak ada bahagianya. Teman seperti ini selalu ingin diperhatikan dan didengarkan. Dia merasa menjadi orang paling menderita dan hidupnya penuh drama.
Teman Hakim
Teman yang seperti ini, setiap kali ketemu kita, adaaa saja yang dikritik dan dihakimi. Tak peduli mau kita dandan berapa puluh jam, pasti ada kurangnya untuk dikritik. Dia tidak mau tahu kita sudah berusaha melakukan sesuatu, selalu ada saja yang dihakimi dari setiap gerak-gerik kita. Yang punya teman seperti ini, harus selalu ingat peraturannya, peraturan no. 1 dia selalu benar, peraturan no. 2 kalau dia salah, kembali ke no. 1.
Teman Bergunjing
Bergunjing itu memang menyenangkan. Melihat kesalahan orang lain dan mencacinya itu memang nikmatnya tiada tara. Tapi kalau kamu punya teman yang over dosis melakukan ini, sebaiknya jaga jarak deh. Teman bergunjing hanya akan membawa kalian melihat keburukan orang lain tanpa bisa mengapresiasi kelebihannya. Bersama teman seperti ini kalian tidak akan pernah bisa belajar untuk maju.
Teman Tukang Ngatur
Punya teman tukang ngatur itu gak enak banget. Pernah merasakan? Semua tindakan kita, keputusan kita, wajib dikonsultasikan sama dia. Kalau tidak, siap-siap saja dijutekin. Bahkan tidak jarang kita akan otomatis dicoret dari daftar persahabatan.
Teman Pengadu domba
Teman seperti ini biasanya tidak bisa melihat sahabat-sahabatnya rukun semua. Dia senang sekali menjelekkan-jelekkan antar teman. Dia bisa ngomong A ke orang B, dan ngomong B ke orang A. Tak jarang dia menyebarkan fitnah dan kebohongan. Dia senang sekali menghasut antar sahabat. Ketika temannya sudah terprovokasi dan saling bermusuhan dia akan muncul seolah menjadi sahabat yang paling baik dan paling setia.
Teman Gratisan
Punya teman yang selalu minta gratisan? Atau dia hobi banget utang tapi tak pernah dibayar? Setiap kali beli jajan bareng, dia akan duluan ngacir atau beralasan dompet ketinggalan dan sejuta alasan lainnya. Kalau tiba waktu bayar, dia akan pura-pura bego dan sok gak ngeh. Teman seperti ini tidak pernah mau mengeluarkan sepeser uangnya untuk kita. Sebisa mungkin dia hanya akan modal dengkul, tak peduli berapapun uang di dalam dompetnya.
Pernah gak sih punya teman dengan ciri salah satu atau salah semua di atas? Apa yang biasanya kalian lakukan jika punya teman seperti di atas?
Setiap orang pasti punya pengalaman sendiri menghadapati teman-teman toxic yang tidak membawa perubahan yang baik buat kita. Kalau kalian punya pengalaman menghadapi teman toxic, share yuk di kolom komentar.
Saya pun juga punya pengalaman yang menyebalkan dengan teman-teman toxic. Berikut beberapa cara yang saya lakukan untuk menghadapi teman toxic yang menyebalkan:
Jaga Jarak
Hal pertama yang harus dilakukan adalah jaga jarak. Kalau merasa gak enak, lakukan dengan pelan-pelan dan bertahap. Hindari atau batasi berinteraksi terlalu sering dengan mereka. Dengan menjaga jarak, kita bisa mengurangi pengaruh buruk teman-teman toxic.
Tutup Mata Tutup Telinga
Setelah kita makin susah diajak jalan bareng, teman-teman toxic biasanya akan mengeluarkan segala omongan-omongan pedas dan jutek. Sekaranglah saatnya untuk tutup mata dan telinga. Semua yang mereka omongkan adalah cara mereka untuk memprovokasi dan menghancurkan kita. Jadi, jaga diri agar tidak terprovokasi, pasang penutup mata kuda dan sumpal telinga tiap ketemu sama mereka.
Sugesti Diri Dengan Energi Positif
Untuk mengurangi pengaruh energi negatif mereka, sugesti diri dengan energi positif. Biasakan untuk selalu berprasangka baik terhadap apapun. Jika ternyata menemui hal yang salah dari prasangka baik kita, berbaik sangkalah dengan Tuhan. Paling tidak dengan selalu berprasangka baik, kita tidak akan menambah coretan dosa. Jika terbiasa berprasangka baik, melihat segala sesuatu dari sisi yang baik, maka energi positif akan melingkupi kita, Dengan adanya energi positif, maka nantinya kita juga akan dipertemukan dengan teman-teman yang memiliki energi yang sama.
Kontrol Reaksi Diri
Apabila terpaksa berinteraksi dengan mereka, kontrol reaksi diri. Teman-teman toxic biasanya akan berusaha menyebarkan pengaruh buruk dan memprovokasi kita, karena itu kontrol reaksi diri. Kalau terpaksa harus kena palak teman gratisan, anggap saja kita sedang bersedekah pada orang yang tidak mampu. Kalau kamu tidak ikhlas, kamu juga bisa menegur dia dengan cara yang elegan. Ingat, jangan terbawa emosi setiap berinteraksi dengan mereka.
No Social Media
Hindari menggunakan media sosial untuk tempat buang sampah dan kekesalan. Jangan tumpahkan di media sosial kalau kamu kesal dan ingin ngomel. Hindari juga menegur mereka di media sosial. Ingat, menumpahkan kekesalan di media sosial tidak akan menyelesaikan masalah. Menegur dan menasihati di media sosial juga tidak akan membawa kebaikan. Kalau terpaksa harus menumpahkan kekesalan lewat tulisan, gunakan buku, kertas atau media yang lebih pribadi.
Cari Bantuan
Jika kalian merasa sudah diambang batas dan sudah tidak mampu lagi menghadapi mereka, cari bantuan. Cari orang yang kamu percaya dan bisa membantumu, bisa orang tua, bisa teman lain yang kamu anggap gak toxic, guru, psikolog atau yang lain. Pengaruh orang toxic memang kadang tidak sanggup kita selesaikan sendiri.
Nah, dari pengalaman bertemu beberapa teman yang toxic itulah, akhirnya saya pun jadi tahu bagaimana menjaga diri dan membatasi berinteraksi dengan mereka. Teman-teman yang membawa aura negatif dan tidak membawa kebahagiaan mungkin sudah saatnya untuk dipertimbangkan disortir dari daftar persahabatan.
Apakah kalian pernah punya pengalaman punya teman yang membawa racun? Kalian punya cara ampuh apa untuk menghadapi teman tipe ini? Share dong di kolom komentar.
“A real friend is one who walks in when the rest of the world walks out”
Teman adalah saudara tambahan yang Tuhan berikan untuk kita. Karena itu, teman tidak akan menjadi beban atau membawa menuju kegelapan.
Di tengah pandemic corona yang saat ini melanda banyak negara di dunia, gaung work from home makin gencar disuarakan. Physical distancing, jaga jarak, bekerja di rumah dan belajar di rumah menjadi agenda besar untuk dijalan selama satu bulan terakhir. Bagaimana dengan kalian? Apakah belajar dan kerja di rumah juga? Bagaimana rasanya? Beda yaaa…
Sebagai seorang freelancer, bekerja di rumah bukanlah hal yang baru bagi saya dan suami. Untuk menunjang aktivitas tersebut kami memiliki ruang kerja khusus. Kamar kerja tersebut berisi meja kerja, lemari dokumen, rak-rak buku dan dinding yang penuh perintilan untuk kebutuhan kerja.
Pekerjaan kami berdua sama-sama membutuhkan fokus tinggi. Terkadang ketika deadline ketat, kami “mengisolasi diri” dari segala pekerjaan rumah tangga demi menyelesaikan tanggung jawab. Saat ditinggal kerja, duo kunyil biasa main sendiri di kamar di sebelah ruang kerja.
Kamar Kerja plus Craft Room Impian
Awalnya ruang kerja tersebut adalah kamar tidur suami. Karena letaknya di bagian paling depan rumah dan memiliki pintu yang langsung menghadap ke pagar, maka ruangan tersebut kami “sulap” menjadi ruang kerja. Ditambah lagi, sejak resign dari kantor, kami berdua kerja penuh waktu di rumah.
Seperti kebanyakan orang, sebenarnya kami pun punya ruang kerja impian. Ruang kerja minimalis dengan dominasi cat warna putih, berjendela kaca yang lebar, menghadap ke halaman yang hijau penuh pohon, bunga dan tanaman yang menyejukkan mata.
Ruang kerja impian saya berbeda dengan impian suami. Pola kerja kami berdua pun berbeda. Tapi karena hanya ada satu ruang kerja, maka kami harus saling berkompromi.
Karena satu dan lain hal, impian memiliki ruang kerja minimalis dengan dominasi cat dan perabotan serba putih sementara disimpan dulu. Banyak hal yang harus menjadi prioritas untuk diutamakan. Namun sebenarnya seberapa penting sih memiliki ruang kerja di rumah bagi para pekerja lepas?
Manfaat Memiliki Ruang Kerja Di Rumah
Kami menganggap memiliki tempat kerja khusus di rumah adalah hal penting. Utamanya bagi pekerja lepas seperti kami. Berikut beberapa pertimbangan kami:
Memiliki ruang kerja di rumah bisa menjadi tempat untuk mendisiplinkan diri.
Bekerja di rumah menjadi hal yang sulit dipisahkan dari segala keruwetan yang ada di dalamnya, mulai dari tangisan anak, membereskan ompol dan makanannya hingga kesibukan domestik lainnya. Dengan adanya ruang kerja, bisa menjadi tempat untuk bermeditasi menyelesaikan tugas.
Dengan memiliki ruang kerja khusus, atau setidaknya memiliki meja kerja akan membuat lebih mudah fokus dalam bekerja.
Kita tidak akan mudah tergoda untuk melakukan kegiatan lain, seperti tiduran, nonton TV atau skroll sosial media. Dengan memiliki meja kerja atau ruang kerja tersendiri, kami merasa bisa lebih fokus dalam menyelesaikan pekerjaan
Ruang kerja ini juga membantu kita bisa menentukan jam kerja.
Untuk seorang ibu dengan segala kerempongannya, ini bisa membantu lebih mudah mendisiplinkan diri dalam menyelesaikan pekerjaan. Begitu jam kerja selesai, kita bisa kembali melanjutkan aktifitas dengan keluarga atau urusan domestik.
Adanya ruang kerja di rumah juga membantu memisahkan barang atau peralatan yang digunakan untuk bekerja dan barang atau peralatan untuk domestik rumah tangga.
Kehilangan berkas atau peralatan kerja itu sangat menyebalkan. Bisa menghambat kelancaran kerja. Dengan memiliki meja kerja khusus atau tempat meletakkan barang. ketika barang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan, kita bisa mengerjakannya lebih cepat.
Tips Membuat Ruang Kerja Nyaman Di Rumah
Jika ada di antara kalian yang harus dadakan harus bekerja di rumah selama sebulan terakhir, ada baiknya membuat meja kerja atau ruang kerja dadakan. Tak perlu sampai renovasi rumah besar-besaran, cukup manfaat saja apa yang ada di rumah setiap harinya.
Pilih meja atau tempat kerja yang membuat anda nyaman dan merangsang produktivitas.
Jika ada ruangan khusus, mungkin akan jadi lebih bagus. Namun jika tidak ada, bisa memanfaatkan pojok ruangan dengan meletakkan meja dan kursi. Namun jika rumah sudah terlalu penuh, bisa memanfaatkan ruang tamu atau meja makan menjadi meja kerja darurat.
Tata meja kerja atau ruang kerja sedemikan rupa agar tampak rapi dan bersih.
Meja kerja yang rapi dan bersih bisa menjadi mood booster untuk menyelesaikan tugas-tugas. Peralatan kerja yang rapi akan membantu menyelesaikan tugas lebih lancar.
Tambahkan tanaman hidup atau bantal empuk untuk alas duduk.
Tanaman hidup bisa menjadi tambahan energi dalam bekerja dan bantal untuk alas duduk bisa membuat anda duduk lama lebih nyaman. Bantal juga bisa membantu anda mengatur posisi duduk yang benar dan sehat.
Sediakan tempat khusus untuk menyimpan berkas-berkas kantor.
Berkas-berkas penting ini bisa membuat pusing jika hilang, rusak atau berserakan. Apabila tidak ada wadah khusus bisa memanfaatkan kardus yang ada di rumah untuk dilipat dan dihias hingga membentuk menyerupai binder atau tempat kertas.
Setiap orang memiliki ritual atau kebiasaan yang membuatnya menjadi lebih produktif. Lakukan kebiasaan tersebut untuk merangsang kreativitas anda. Saya lebih senang bekerja sejak shubuh. Suasana yang lengang, udara yang segar dan sejuk serta secangkir teh hangat mampu merangsang produktivitas saya.
Berbeda dengan suami yang lebih senang bekerja malam hari dengan diiringi suara musik dan secangkir kopi. Suara musik membuatnya menjadi lebih mudah fokus. Kami memiliki pola dan kebiasaan yang berbeda di ruang kerja. Namun yang jelas, kebiasaan tersebut membuat kami menjadi lebih produktif.
Apa kebiasaan anda agar lebih produktif dalam bekerja?
Aku yang bebal atau kamu yang tak mau belajar?
Aku yang durhaka atau kamu yang tak mau tahu segalanya?
Aku yang pekak atau kamu yang congkak?
Aku yang tak punya hati atau kamu yang tak mau mengerti?
Tak ada manusia yang sempurna
Yang ada hanya manusia yang mau belajar setiap harinya
Berpasrah bukan berarti menyerah
Berserah diri bukan berarti meminta mati
Tunduk pada ketentuan Yang Esa
Berusaha mensyukuri segala nikmat-NYA
Jika ada nyawa tersisa di raga
Tak pelak tugas mulia masih harus dijaga
Tak ada manusia yang tak memiliki rasa takut
Selama ada Sang Maha Lembut
Kapanpun nyawa direnggut
Mau tak mau harus siap dijemput
Al Qaabith… Al Baasith…
Wahai yang Maha Menyempitkan dan Maha Melapangkan
Kuasalah NAMANYA atas segala hati manusia
Al Faatah… Al Wahhaab…
Wahai Sang Pembuka Rahmat dan Pemberi Karunia
Tiada daya upaya kami selain menunduk dan mengeluh
Bukakan Rahmat-Mu, Berikan Karunia-Mu
Kepada kami yang memiliki selemah-lemah iman.
Tulisan ini murni berisi curhatan tentang program literasi yang terlihat di sekitar saya lengkap dengan keresahan yang saya rasakan. Kalaupun di dalamnya berisi saran dan kritik, ini semata karena saya ingin berkontribusi untuk kemajuan lingkungan. Tidak ada maksud menjelekkan atau merendahkan pihak lain.
Dimulai dari keresahan yang merambati dada, ketika saya diminta tolong untuk mendongeng dalam rangka penilaian lomba program literasi. Apa yang saya lihat, berbeda dengan apa yang dipresentasikan. Apa yang dipresentasikan agak jauh dari dunia literasi itu sendiri. Lomba literasi masih sebatas panggung polesan demi mendapat piala.
Saya cukup mengapresiasi penjurian yang berlangsung dadakan. Dengan penjurian dadakan akan meminimalisir pembuatan “panggung” oleh para panitia. Program literasi yang tidak benar-benar berjalan di suatu wilayah, akan nampak terlihat. Meminimalisir hal seperti ini penting, agar program literasi bukan sekedar wacana.
APA SIH LITERASI ITU?
Literasi sendiri menurut kamus Merriam-Webster adalah berasal dari bahasa latin “literature” yang berarti kemampuan melek aksara. Dalam pengembangannya literasi berarti kemampuan mengenali dan menyampaikan ide dalam bentuk tulisan maupun gambar. Kemampuan ini melibatkan kemampuan membaca, menulis dan memecahkan masalah.
Dalam pengembangannya kemampuan literasi juga dikaitkan dengan dunia digital, yaitu kemampuan memanfaatkan teknologi dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Karena itu seiring berkembangnya zaman, muncullah profesi-profesi baru seperti, content creator, youtuber, Vlogger, Blogger, maupun web designer. Dunia profesi berkaitan dengan digital literasi ini akan terus berkembang sesuai kebutuhan zaman.
Program Literasi Bukan Sekedar Panggung
Program literasi yang dicanangkan pemerintah sesungguhnya program yang sangat jitu untuk menggugah kesadaran masyarakat untuk mulai MEMBACA dan BELAJAR. Pemerintah bahkan sangat mengikuti perkembangan zaman, terbukti dengan banyaknya seminar “Literasi Digital”. Saya sendiri pernah menjadi narasumber di sebuah universitas negeri, membantu memberikan sedikit ilmu tentang dunia konten.
Mirisnya ketika terjadi di wilayah sekitar, saya belum mampu memberikan apa-apa. Bahkan saya melihat betapa pemangku kepentingan sangat miskin literasi itu sendiri. Budaya lomba dengan menampilkan drama yang kelihatannya indah, meskipun tak seindah kenyataan sangat membuat hati saya tercabik. Apa yang ada, tak benar-benar diterapkan.
Bagi saya literasi bukan sekedar panggung. Literasi adalah sebuah budaya. Karena itu menanamkannya dibutuhkan waktu yang tidak sebentar. Hasilnya baru akan terlihat nyata beberapa tahun ke depan. Literasi adalah tentang membiasakan manusia untuk belajar, untuk membaca, menulis dan menyelesaikan masalah dengan kemampuan yang dimilikinya. Mungkin tidak mudah, tetapi BISA untuk dilakukan. Membudayakan sesuatu adalah sebuah perjalanan panjang.
Budaya Literasi Dimulai dari mana?
Budaya literasi bisa dimulai dari diri sendiri dan lingkungan terkecil, keluarga. Budaya literasi harus ditanamkan ke semua kalangan, anak-anak, orang tua bahkan hingga lansia. Tak perlu beralasan kalau tidak memiliki hobi membaca. Karena MEMBACA BUKANLAH HOBI, tetapi MEMBACA ADALAH KEBUTUHAN. Apakah tidak ada orang yang membaca peta petunjuk jalan? Apakah tidak ada orang yang membaca label harga di supermarket? Apakah tidak ada yang membaca bahan dan resep masakan untuk yang mengaku hobi memasak? Apakah tidak ada yang membaca papan tulisan toilet untuk mereka yang hobi blusukan ke mall? Semua butuh MEMBACA, karena itu membaca bukanlah sekedar HOBI.
Pun demikian dengan literasi di lingkungan keluarga. Biasakanlah untuk membaca ketika di rumah. Anda memegang gadget setiap hari selama 10 jam adalah bagian dari membaca. Yang perlu dilakukan adalah, ubahlah tradisi membaca di gadget anda menjadi tradisi yang berdaya guna. Misalnya, install aplikasi LET’S READ di gadget yang biasa dipegang putra-putri anda. Aplikasi ini berisi buku-buku cerita digital khusus untuk anak-anak dan berbahasa Indonesia. Mudah bukan?
Jadi di mana saja, anda bisa mengajak si kecil untuk membaca cerita dari gadget. Cerita anak tidak panjang. Anda hanya butuh waktu 5-10 menit untuk membacakannya. 5-10 menit dari 10 jam waktu anda memegang gadget khusyuk di sosial media, namun manfaatnya bisa anda bawa hingga seumur hidup anak-anak. Lebih bermanfaat mana? Apakah masih keberatan juga meluangkan waktu 5-10 menit untuk membacakan cerita anak dari gadget?
Hal sederhana ini bisa diterapkan di semua keluarga. Tidak ada lagi alasan tidak punya buku, atau buku anak mahal. Karena dari gadget yang ada di tangan, anda bisa membacakan cerita untuk anak-anak. Bukan sekedar bermain games atau khusyuk di sosial media.
BUDAYA LITERASI DI SEKOLAH
Budaya literasi juga bisa dirintis di sekolah. Saya cukup bahagia ketika mendapati sekolah anak saya memiliki perpustakaan, dan seminggu sekali setidaknya anak-anak wajib datang ke perpustakaan untuk membuat review atau ringkasan cerita dari 1 buku yang dipinjamkan. Ini wajib dan masuk ke dalam jadwal pelajaran. Bangga dan senang? Tentu saja. Ini tentu karena pembuat programnya tahu benar bahwa benih kebiasaan seperti ini perlu dipupuk. Tinggal penerapan di lapangan yang harus sesuai dengan programnya.
Untuk sekolah anak usia dini, bisa dimulai dengan program READ ALOUD. Program ini mulai trend dan menggema akhir-akhir ini. Program membaca keras ini bisa dilakukan guru dengan membacakan satu cerita untuk murid-muridnya. Program ini bisa dijadwalkan minimal seminggu sekali atau sesering yang disuka sekolah. Semakin sering, tentu semakin bagus. Percayalah, apapun reaksi anak-anak, sesungguhnya mereka suka mendengar cerita dan dongeng. Toh program seperti ini tidak membutuhkan waktu lama, karena berkaitan dengan kemampuan fokus anak yang masih rendah. Agar tidak cepat bosan, bacakan cerita singkat namun menarik.
BUDAYA LITERASI BISA DIMULAI DI MANA SAJA.
Percayalah, budaya literasi bisa dimulai di mana saja. Ada banyak permainan yang dikembangkan oleh para pegiat literasi yang bisa dimainkan di lingkungan rumah. Ada permainan ular tangga dan engklek yang dikembangkan oleh WATIK IDEO yang sudah berpadu dengan literasi yang bisa dimainkan di lingkungan rumah. Watik Ideo juga membuat poster tentang perlindungan diri yang bisa ditempel di sekolah, rumah atau di playground anak.
Tak hanya berhenti di situ, budaya literasi juga bisa dikembangkan dengan mengajak para orang tua membuat mainan dari barang bekas yang bisa dijadikan sebagai alat bercerita kepada anak-anak. Bersama teman-teman dari #BikinBikinDiTaman Surabaya, saya pernah belajar membuat proyektor dari kardus, story wheel, shadow puppet, Panggung boneka, marrionette, dan masih banyak lagi. Susah? Tidak kok. Saya yang kemampuan menggunting lurusnya selalu dapat nilai 5 saja berhasil, apalagi anda yang memiliki kemampuan motorik halus yang luar biasa keren. Pasti bisa!
Literasi di kalangan lansia bisa dimulai dengan menggandeng para pegiat literasi untuk memberikan bimbingan dalam mengenali hoaks. Ada banyak hoaks yang tersebar dan sering kita dapat justru dari group whatsapp keluarga, atau group whatsapp alumni yang berisi para sesepuh dan orang lanjut. Ini penting untuk mencegah terpaparnya hoaks-hoaks. Hoaks jangan hanya dikaitkan dengan kepentingan politik, tetapi di kalangan lansia ini banyak beredar hoaks-hoaks kesehatan. Sedih bukan kalau ada orang tua kita yang terpapar hoaks kesehatan, bukannya mendapat manfaat malah justru membahayan kesehatan. Kalau sudah begini, siapa yang rugi?
Memberikan wadah bagi lansia untuk mengembangkan ketrampilan dan hobinya, lalu menyalurkannya melalui dunia digital seperti pengembangan UKM berbasis digital juga menjadi bagian dari dunia literasi. Kalau orang tuanya sibuk mengisi waktunya sesuai hobi seperti memasak, melukis atau bahkan mengaji, tentu akan mengurangi paparan hoaks. Lingkungan tempat tinggal yang kondusif dalam literasi memang harus dibangun dimulai sedini mungkin, pelan-pelan dan pasti membutuhkan waktu. Karena literasi adalah tentang budaya, bukan sekedar panggung polesan demi piala!