Memperingati Hari Kusta Sedunia bersama NLR dan Kementerian Kesehatan Indonesia

Memperingati Hari Kusta Sedunia bersama NLR dan Kementerian Kesehatan Indonesia

Tanggal 28 Januari kemarin diperingati sebagai Hari Kusta Sedunia atau World Leprosy Day. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penderita kusta terbesar ke-3 sedunia setelah India dan Brazil, rasanya memang harus terus bergerak untuk mengurangi angka penularan dan stigma di masyarakat. Dalam rangka World Leprosy Day tersebut, Ruang Publik KBR tanggal 30 Januari 2024 kemarin menghadirkan Ibu Hana Krismawati, M. Sc seorang pegiat Kusta dan analis kebijakan dari Pusat Sistem dan strategi kesehatan Kementerian Indonesia dan Agus Wijayanto, MMID, Direktur eksekutif NLR Indonesia.

Di Indonesia stigma terhadap penderita kusta masih tinggi. Untuk sejalan dengan tema World Leprosy Day tahun ini yaitu, unity, act and eliminate, diharapkan masyarakat Indonesia bisa bersatu dan beraksi bersama untuk menghapus Kusta. Dibutuhkan peran serta seluruh masyarakat untuk menghapus Kusta di Indonesia, termasuk menghapus stigma tentang OYPMK (Orang Yang Pernah Menderita Kusta) di Indonesia.

Unity, Act and Eliminate

Salah satu lembaga di Indonesia yang aktif bergerak dalam membantu mengurangi angka Kusta adalah NLR Indonesia. NLR Indonesia juga aktif bergerak memberikan edukasi di daerah-daerah yang memiliki angka penderita Kusta cukup tinggi, untuk membantu menghapus stigma dan memberikan pendampingan bagi para OYPMK agar tetap bisa berperan aktif di masyarakat.

Sebagai pegiat Kusta, Bu Hana membuka fakta yang mencengangkan. Kata Bu Hana

“Jawa Tengah dan Jawa Timur menyumbang angka cukup tinggi dalam jumlah OYPMK yang tercatat di kementerian Kesehatan. Meskipun angka persentasenya cukup rendah dibandingkan NTT dan wilayah lain di luar Jawa, namun secara nominal masih ada 1.000 lebih angka OYPMK yang ada di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur”.

Jadi faktor ekonomi dan pendidikan bukan hanya menjadi satu-satunya faktor yang turut serta membuat angka penularan Kusta cukup tinggi. Terbukti di pemetaan wilayah endemis, Pulau Jawa yang memiliki fasilitas kesehatan dan pendidikan yang lebih mumpuni dibanding wilayah lain pun masih menyumbang angka cukup tinggi. Untuk itu, Bapak Agus mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk turut menyuarakan bahwa kusta bisa sembuh dan hanya menular melalui kontak fisik cukup erat dengan penderita.

Lebih lanjut bu Hana mengajak para peneliti dan akademisi di Indonesia untuk turut aktif melakukan kajian dan penelitian tentang Kusta. Dibandingkan negara lain, akademisi di Indonesia masih sedikit yang mau meneliti dan bersama-sama berjuang untuk menurunkan angka penderita dan penyebaran kusta.

Dengan peringatan Hari Kusta Sedunia ini diharapkan mampu mengajak lebih banyak masyarakat untuk bersatu dan bergerak, beraksi mengeliminasi angka kusta di Indonesia dan merangkul para OYPM untuk dapat tetap berperan aktif di masyarakat, seperti yang telah dilakukan oleh NLR Indonesia.

Pemilu Inklusif 2024 Untuk Penyandang Disabilitas

Pemilu Inklusif 2024 Untuk Penyandang Disabilitas

Menemani penyandang disabilitas dalam pesta rakyat pemilihan umum bukan hal baru dan langka bagi saya. Selain papa mertua yang terkena stroke dan harus belasan tahun duduk di kursi roda, dulu saya punya kawan low vision yang penglihatannya terbatas. Saat itu sama-sama pertama kalinya bagi kami merasakan pemilihan umum, sehingga kami janjian pergi bersama-sama. Ketika itu saya tidak tahu kalau ada kertas suara yang ada brailenya. Saya ingat betul kawan saya dituntun memasuki bilik suara oleh kedua orang tuanya dan dipandu dalam memilih.

Saya baru tahu kalau ada kertas suara yang ada brailenya kemarin setelah mendengarkan Ruang Publik KBR bersama NLR Indonesia tanggal 28 November 2023 di live streaming di Youtube dengan tema “Partisipasi Remaja dengan Disabilitas dalam Pemilu 2024“. Talkshow tersebut menghadirkan Kenichi Satria Kaffah, selaku Remaja dengan Disabilitas dan Ibu Noviati, S.IP selaku Tim Panitia Pengawas Pemilu 2024. Talkshow yang dipandu Rizal Wijaya selaku host berlangsung selama 1 jam.

Ibu Noviati menuturkan bahwa

“konsitutsi negara kita sudah mengatur kepemenuhan hak politik para penyandang disabilitas dalam UU no 7 tahun 2017 pasal 5 bahwa penyandang disabilitas yang memenuhi persyaratan memiliki hak yang sama sebagai pemilih untuk menggunakan hak pilihnya, sebagai peserta pemilu maupun sepagai panitia penyelenggara pemilu.”

Jadi jelas ya semestinya tidak ada diskriminasi bagi penyandang disabilitas.

Namun pada kenyataannya masih banyak para penyandang disabilitas yang tidak mendapat hak politik dengan berbagai alasan, mulai dari tidak terdata sebagai penyandang disabilitas sehingga tidak mendapat fasilitas khusus untuk dapat menjalankan hak pilihnya hingga tidak terdata sebagai peserta pemilu. Apabila menjumpai hal yang demikian, Bu Noviati menyarankan untuk segera melaporkan ke KPU. Pada saat petugas PANTARLIH datang ke rumah, pastikan bahwa anggota keluarga disabilitas sudah terdata dengan baik oleh petugas.

Kenichi atau sering disapa Kak Ken, berbagi pengalaman sebagai penyandang disabilitas yang tahun depan akan mendapatkan hak pilihnya pertama kali. Sebagai penyandang disabilitas Kak Ken sudah memastikan bahwa namanya terdata sebagai penyandang disabilitas netra dalam DPT (daftar pemilih tetap) sehingga di TPU tempat Kak Ken nantinya memilih akan diberi surat suara khusus bagi disabilitas netra.

Sejauh ini Kenichi sendiri tidak pernah mengalami intimidasi dalam menentukan pilihannya. Pun demikian yang dia dengar dari teman-temannya yang sudah lebih dulu menjadi pemilih dalam pesta pemilu. Hal yang acap terjadi adalah kurangnya fasilitas dan akses di TPU saat hari pencoblosan. Hal ini diakui ibu Novita dan akan menjadi koreksi bersama bagi Panwaslu dan Panitia Pemilu.

Apalagi tahun 2024 ini akan menjadi Pemilu Inklusif yang mengedepankan 3 hal bagi penyandang disabilitas, yaitu menerapkan Prinsip kesetaraan, prinsip aksesibilitas dan prinsip sinergitas. Dengan terselenggaranya pemilu inklusif tahun depan semoga semakin banyak warga yang dapat berpartisipasi dalam pesta akbar pemilihan umum dan mendapatkan hak pilihnya sesuai konstitusi yang berlaku.

Kusta Penyakit Orang Miskin, Benarkah?

Kusta Penyakit Orang Miskin, Benarkah?

Kusta dengan kemiskinan dan daerah tertinggal biasanya sangat identik. Apakah benar kusta identik dengan kemiskinan dan daerah tertinggal? Mengapa demikian?

Kalau kalian mau tahu yang sebenarnya, cobain nonton youtube channelnya Ruang Publik KBR yang bekerjasama dengan NLR Indonesia yang membahas kaitan kusta dengan kemiskinan. Dalam bahasannya KBR dan NLR Indonesia mengundang dua narasumber, yaitu:

  • Sunarman Sukamto, Amd – Tenaga Ahli Kedeputian V, Kantor Staf Presiden (KSP)
  • Dwi Rahayuningsih – Perencana Ahli Muda, Direktorat Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian PPN/Bappenas

Ruang Publik kali ini dipandu host cantik Debora Tanya. Dari talkshow di Ruang Publik inilah aku baru tahu kalau Kusta dan kemiskinan seperti lingkaran setan. Kalau kalian sekedar tahu bahwa kusta biasanya penyakit untuk orang miskin, justru sebenarnya Kusta bisa menjadi salah satu penyebab kemiskinan. Kenapa?

Karena penderita kusta atau akrab dikenal dengan nama OYPMK susah mendapat kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Ketakutan masyarakat pada umumnya akan penularan Kusta membuat mereka menjauhi para OYPMK. Akibatnya OYPMK seringkali mendapatkan diskriminasi yang tidak semestinya hingga kehilangan kesempatan kerja yang mumpuni.

Dari talkshow ini pula aku tahu kalau, pemerintah mengambil banyak langkah dan tindakan dalam mengentaskan kemiskinan bagi para OYPMK. Bagaimanapun juga OYPMK berhak untuk mendapatkan hidup yang layak, berhak mendapatkan kesempatan bekerja sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. OYPMK sama seperti orang pada umumnya. Mereka sudah sembuh, sudah aman bekerja di tengah masyarakat, dan sudah tidak menularkan penyakit.

Pemerintah memberikan pengobatan yang mumpuni dan gratis bagi para penderita kusta. Penderita kusta bisa berobat di manapun di puskesmas yang disediakan oleh pemerintah. Gratis tanpa dikenakan biaya sepeserpun. Dengan pengobatan yang disiplin dan rutin penderita kusta pun bisa sembuh dan tidak menularkan penyakitnya. Sehingga mereka bisa kembali ke tengah masyarakat, beraktivitas dan bekerja seperti biasa.

Langkah Pemerintah Dalam Mengentaskan Kemiskinan Bagi OYMPK

Per Januari 2022 di Indonesia tercatat kasus kusta sebanyak 13.487 dan 7.146 diantaranya adalah kasus baru yang tersebar di 6 provinsi yang terdiri dari 101 kabupaten/kota. Tahukah kalian, kasus sebanyak ini menjadikan Indonesia menempati posisi ketiga terbesar negara dengan penyakit kusta? Bangga? Enggak doong… Semua pihak harus bekerjasama untuk membantu mewujudkan program Indonesia bebas Kusta. Yuk dimulai dengan mengubah stigma yang tersebar di masyarakat, menerima para OYPMK, merangkul mereka untuk beraktivitas di tengah kita dan memberikan hak dan kesempatan yang sama.

Bapak Sunarman Sukamto, Amd mengakui bahwa hingga saat ini upaya perwujudan Indonesia bebas kusta masih menjadi upaya dominan bidang kesehatan, belum ada upaya sinergis lintas departemen. Padahal untuk membawa program ini dibutuhkan peran dan kerjasama banyak pihak, baik dari sektor sosial, ekonomi, pendidikan, ketenagakerjaan, maupun sektor bidang lainnya. Hal ini disebabkan permasalahan kusta sudah menjadi permasalahan multidimensi.

Saat ini kementerian kesehatan mulai meningkatkan usaha pemberantasan kusta, bukan hanya melalui sisi kesehatan berupa pengobatan namun juga mulai merambah di bidang sosial, kesejahteraan ekonomi, pemberdayaan dan sisi lingkungan. Dalam proses pembangunan ke depan, pemerintah mulai memberdayakan para penyandang disabilatas dan OYPMK untuk menjadi stakeholder, terlibat langsung dalam program-program tertentu pemerintah.

Ibu Dwi Rahayuningsih melalui Bappenas rutin mengadakan pendataan untuk memetakan permasalahan dan kebutuhan para penyandang disabilitas dan OYPMK. Ibu Dwi menambahkan pemerintah sudah menyelenggarakan beberapa program untuk mengentaskan kemiskinan bagi OYPMK, di antaranya.

  • Bantuan sembako untuk OYPMK dari golongan tidak mampu berdasarkan database kemensos
  • Bantuan asistensi rehabilitasi sosial dan alat bantu
  • Program kemandirian usaha, terutama bagi mereka yang masih mendapatkan diskriminasi dari lingkungan
  • Penyediaan tempat bagi OYPMK untuk pemberdayaan dan pelatihan, diantaranya ada di Dusun Sumber Glagah, Tanjung Kenongo, Jawa Timur dan ada di Banyumanis – Jawa Tengah, Jongaya – Makassar.

Semua program tersebut bisa diakses dan dimanfaatkan oleh penyandang disabilitas dan OYPMK yang masih berada di garis kemiskinan. Program-program lainnya masih dalam tahap pengembangan dan belum sempurna dalam penyelenggaraannya. Namun begitu diharapkan ke depannya banyak program yang akan dapat diselenggarakan dan dimanfaatkan dengan maksimal.

Lantas, sebagai masyarakat, apa yang bisa kita lakukan untuk membantu kawan-kawan OYPMK? Yuk dimulai dari mengubah stigma dan pola pikir kita akan penyakit kusta dan merangkul OYPMK untuk kembali bermasyarakat dan memasuki dunia sosial beraktivitas seperti yang lainnya.

Dimulai dari sekarang, untuk kehidupan yang lebih nyaman!

Melawan Stigma Mulai Dari Mana?

 

Melawan Stigma Mulai Dari Mana? – Adikku lahir sebagai anak berkebutuhan khusus. Konon kata dokter, IQnya berhenti di anak usia 2 tahun dan tidak berkembang lagi. Kemampuannya berbicara dan berlogika persis seperti anak kecil, meski usianya sudah menginjak belasan. Dulu dia baru bisa berjalan ketika usia 8 tahun. Perkembangannya sangat lambat.

Aku tahu persis bagaimana dulu ibuku selalu menggendongnya ke mana-mana. Seiring berjalannya waktu, adikku tumbuh menjadi anak yang gigih. Dia juga yang selalu membantu mengangkat barang-barang di rumah. Meski perkembangan IQnya lambat, tapi fisiknya tumbuh normal. Namun begitu, aku tidak bisa lupa bagaimana orang lain mencibir adikku dan ibuku. Stigma tentang anak cacat adalah dosa orang tua dan sejenisnya selalu ada.

Adikku tidak bisa bersekolah di sekolah biasa. Di desa kami, sekolah untuk anak berkebutuhan khusus terbatas jumlahnya. Ada sekolah luar biasa yang jaraknya belasan Km dari rumah, itupun tidak ada kelas untuk anak dengan kemampuan seperti adikku. Alhasil saat itu adikku tidak bersekolah. Guru sekolah di dekat rumah tak sanggup mengajarnya. Maka, satu-satunya yang bisa ia tulis adalah angka 4 dan huruf B. itu saja.

Stigma Dan Dilema Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK)

Stigma-stigma negatif yang masih banyak beredar di masyarakat inilah akhirnya menginisiasi Ruang Publik KBR untuk mengadakan edukasi. Dalam rangka Hari Down Syndrome Sedunia yang jatuh pada tanggal 21 Maret 2022, Ruang Publik KBR berkolaborasi dengan NLR Indonesia membuat talkshow yang bertema “Lawan Stigma Untuk Dunia Yang Setara”. Talkshow yang diadakan tanggal 30 Maret 2022 ini menghadirkan dua narasumber yaitu:

  • dr. Oom Komariah. M.Kes, Ketua Pelaksana Hari Down Syndrome (HDSD) / POTADS (Perkumpulan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome)
  • Uswatun Khasanah, OYPMK (Orang yang Pernah Menderita Kusta) / NLR Indonesia

Selain anak-anak berkebutuhan khusus seperti adikku, salah satu stigma yang sering diberikan oleh masyarakat awam adalah stigma terhadap penderita Kusta. Siapa yang belum mengenal Kusta? Kusta atau lepra adalah penyakit yang menyerang jaringan kulit dan dapat menimbulkan kecacatan. Kusta disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae.

Bagi Mbak Uswatun Khasanah, sebagai orang yang pernah menderita kusta, anggapan bahwa kusta adalah penyakit kutukan bukan lagi hal baru. Masih banyak di masyarakat Indonesia yang menganggap orang yang menderita kusta itu perlu dikucilkan karena sangat mudah menular. Bahkan banyak yang masih belum tahu kalau kusta bisa disembuhkan.

Aku sendiri pun baru tahu kalau ternyata Kusta itu ada dua macam berkat nonton talkshow kemarin. Seperti diabetes, kusta pun ada dua jenis, kusta basah dan kusta kering. Asalkan rajin minum obat dan mematuhi semua anjuran dokter, Kusta bisa sembuh. Bahkan tidak meninggalkan cacat yang fatal.
Bagi penderita kusta yang mengalami kecacatan pun sering dilema, karena susah mendapatkan fasilitas publik dan kesempatan yang setara dengan yang lain. Sama seperti penyandang disabilitas lain, fasilitas publik kita banyak yang belum ramah terhadap kaum disabilitas.

Kesempatan kerja pun tidak sama besarnya. Mereka yang disabilitas akan memiliki kesulitan dan hambatan yang jauh lebih besar dalam berkompetisi di dunia kerja. Karena seringnya, dunia kerja tidak memberikan toleransi bagi penyandang disabilitas. Bahkan mungkin lebih sering mendapatkan diskriminasi.

Lawan Stigma Untuk Dunia Yang Setara

Percayakah kalian bahwa penderita down syndrome bisa menjalani hidup normal? Down syndrome bukan penyakit. Down syndrome adalah gangguan genetik karena kelainan kromosom. Karena bukan penyakit, down syndrome tidak bisa disembuhkan, tapi bisa diterapi dan dilatih. Dengan latihan dan terapi yang rutin, penderita down syndrome dapat menjalani kehidupan seperti manusia pada umumnya. Bahkan banyak penderita down syndrome yang memiliki prestasi melebihi teman-temannya yang lain.

Melihat fakta seperti ini pun, masih ada saja masyarakat yang memiliki stigma bahwa anak down syndrome adalah akibat dari dosa orang tuanya. Banyak orang down syndrome yang mengalami diskriminasi, bahkan pelecehan. Tak jarang orang down syndrome dianggap sebagai aib bagi masyarakat.

“Bagi orang tua yang memiliki anak dengan down syndrome silahkan jika ingin menikmati waktu untuk bersedih. Itu normal. gakpapa. Tapi jangan lupa untuk cepat bergerak. Jangan terlalu lama berdiam diri gak ngapa-ngapain. Kalau bukan orang tuanya yang membantu anak down syndrome berkembang, siapa lagi?”

Dr. Oom menyarankan segera cari komunitas yang mendukung dan menerima semua perasaan yang dirasakan. Bukan memberikan penghakiman. Komunitas ini penting untuk berbagi pengalaman, cerita, cara terapi bagi sesama orang tua dengan anak down syndrome. Bahkan komunitas seperti POTADS juga memberikan wadah bagi anak-anak down syndrome untuk berlatih bermacam-macam keterampilan.

POTADS (Perkumpulan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome) yang sudah berdiri di 10 kota ini juga memiliki wadah berupa rumah ceria POTADS yang mewadahi anak-anak down syndrome untuk berlatih seperti renang, perkusi, drum, dan lain sebagainya. Bahkan banyak di antara mereka yang berprestasi. Jadi orang tua yang memiliki anak down syndrome memiliki dukungan dalam mendampingi tumbuh kembang anak-anaknya.

Bagi penderita kusta ada yayasan NLR yang membantu pemberantasan kusta. Yayasan non-profit ini sudah lama didirikan dan memiliki tujuan membantu penderita kusta untuk sembuh, memutus mata rantai penyebaran dan mengurangi potensi timbulnya kecacatan. Bergabung dengan komunitas seperti NLR para penderita kusta akan memiliki dukungan untuk sembuh dan kembali percaya diri menjalani pengobatan.

Melawan stigma bukan hal yang mudah. Apalagi untuk anak-anak yang memiliki keterbatasan. Dr. Oom mengatakan bahwa melawan stigma bisa dilakukan dengan memberikan bukti bahwa anak-anak yang memiliki keterbatasan itu layak untuk mendapatkan kesempatan yang setara. Namun untuk melawan stigma tersebut, pertama harus berdamai dengan diri sendiri dulu. Bagi penderita kusta, melawan stigma bisa dimulai dari diri sendiri, sembuh terlebih dulu, mengikuti semua anjuran dokter dan buktikan bahwa kita bisa.