Memperingati Hari Kusta Sedunia bersama NLR dan Kementerian Kesehatan Indonesia

Memperingati Hari Kusta Sedunia bersama NLR dan Kementerian Kesehatan Indonesia

Tanggal 28 Januari kemarin diperingati sebagai Hari Kusta Sedunia atau World Leprosy Day. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penderita kusta terbesar ke-3 sedunia setelah India dan Brazil, rasanya memang harus terus bergerak untuk mengurangi angka penularan dan stigma di masyarakat. Dalam rangka World Leprosy Day tersebut, Ruang Publik KBR tanggal 30 Januari 2024 kemarin menghadirkan Ibu Hana Krismawati, M. Sc seorang pegiat Kusta dan analis kebijakan dari Pusat Sistem dan strategi kesehatan Kementerian Indonesia dan Agus Wijayanto, MMID, Direktur eksekutif NLR Indonesia.

Di Indonesia stigma terhadap penderita kusta masih tinggi. Untuk sejalan dengan tema World Leprosy Day tahun ini yaitu, unity, act and eliminate, diharapkan masyarakat Indonesia bisa bersatu dan beraksi bersama untuk menghapus Kusta. Dibutuhkan peran serta seluruh masyarakat untuk menghapus Kusta di Indonesia, termasuk menghapus stigma tentang OYPMK (Orang Yang Pernah Menderita Kusta) di Indonesia.

Unity, Act and Eliminate

Salah satu lembaga di Indonesia yang aktif bergerak dalam membantu mengurangi angka Kusta adalah NLR Indonesia. NLR Indonesia juga aktif bergerak memberikan edukasi di daerah-daerah yang memiliki angka penderita Kusta cukup tinggi, untuk membantu menghapus stigma dan memberikan pendampingan bagi para OYPMK agar tetap bisa berperan aktif di masyarakat.

Sebagai pegiat Kusta, Bu Hana membuka fakta yang mencengangkan. Kata Bu Hana

“Jawa Tengah dan Jawa Timur menyumbang angka cukup tinggi dalam jumlah OYPMK yang tercatat di kementerian Kesehatan. Meskipun angka persentasenya cukup rendah dibandingkan NTT dan wilayah lain di luar Jawa, namun secara nominal masih ada 1.000 lebih angka OYPMK yang ada di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur”.

Jadi faktor ekonomi dan pendidikan bukan hanya menjadi satu-satunya faktor yang turut serta membuat angka penularan Kusta cukup tinggi. Terbukti di pemetaan wilayah endemis, Pulau Jawa yang memiliki fasilitas kesehatan dan pendidikan yang lebih mumpuni dibanding wilayah lain pun masih menyumbang angka cukup tinggi. Untuk itu, Bapak Agus mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk turut menyuarakan bahwa kusta bisa sembuh dan hanya menular melalui kontak fisik cukup erat dengan penderita.

Lebih lanjut bu Hana mengajak para peneliti dan akademisi di Indonesia untuk turut aktif melakukan kajian dan penelitian tentang Kusta. Dibandingkan negara lain, akademisi di Indonesia masih sedikit yang mau meneliti dan bersama-sama berjuang untuk menurunkan angka penderita dan penyebaran kusta.

Dengan peringatan Hari Kusta Sedunia ini diharapkan mampu mengajak lebih banyak masyarakat untuk bersatu dan bergerak, beraksi mengeliminasi angka kusta di Indonesia dan merangkul para OYPM untuk dapat tetap berperan aktif di masyarakat, seperti yang telah dilakukan oleh NLR Indonesia.

Mengupas Pentingnya Chilling dan Healing Bagi OYPMK dan Penyandang Disabilitas

Chiling dan Healing Bagi OYPMK dan Penyandang Disabilitas, Perlukah?

Saat ini, kata healing sering digaungkan dalam media sosial (medsos) atau bahkan kita mendengarkan dari orang terdekat. Pergi ke mall, olahraga atau kemanapun tempatnya akan dikatakan sebagai healing. Healing sendiri dalam kamus Bahasa Inggris diartikan sebagai penyembuhan. Sedangkan chilling dari chill, mengandung makna santai. Kata ini juga sering digunakan untuk menggambarkan istilah “menenangkan diri”.

Chilling dan healing sangat dibutuhkan bagi setiap individu yang hidup. Mengapa? Karena kedua kegiatan tersebut mempunyai dampak besar bagi manusia. Secara umum, salah satunya adalah untuk menyegarkan kembali jiwa raga setelah mengalami kepenatan kegiatan. Sedangkan secara khusus, tergantung peristiwa yang dialami. Akan tetapi, bagaimana dengan chilling dan healing bagi OYPMK (Orang Yang Pernah Menderita Kusta) dan penyandang disabilitas?

Dalam talkshow Ruang Publik KBR yang bekerja sama NLR kali ini mengusung tema tentang ‘Chilling dan Healing bagi OYPMK dan penyandang disabilitas, Perlukah?’ Acara yang dibawakan dengan menyenangkan oleh host KBR, Rizal Wijaya. Turut mengundang Donna Swita selaku Executive Director Institute of Woman Empowerment (IWE) dan Ardiansyah (OYPMK) yang menjabat sebagai Wakil Ketua Konsorsium Pelita Indonesia.

Menurut Donna Swita, definisi healing adalah penyembuhan pada sesuatu yang berdampak pada psikis dan emosi seseorang. Healing tidak hanya dibutuhkan oleh OYPMK, tetapi semua orang membutuhkan.
Mengenai healing atau pemulihan diri atau perawatan, ada 5 dimensi penting, diantaranya adalah:

  • Dimensi fisik, dalam dimensi ini berbicara tentang kesehatan fisik. Misalnya saja, karena kurang istirahat akhirnya berdampak dengan fisik.
  • Dimensi psikis, stress karena banyak stigma yang harus dibenahi.
  • Mental
  • Relasi, berhubungan dengan orang tua dan orang lingkungan sekitar.
  • Spiritual

Dari kelima dimensi tersebut bisa dilihat, dimensi mana yang paling dibutuhkan oleh OYPMK dan penyandang disabilitas. Karena setiap orang memiliki proses pemulihan yang berbeda. Tergantung dimensi permasalahan yang dihadapi. Namun, dari semuanya, yang terpenting adalah informasi atau pengetahuan. Pemanfaatan kecanggihan teknologi dalam menggali ilmu pengetahuan tentang penyakit kusta seharusnya lebih mudah diperoleh dan dicari. Hanya dengan mengetik kalimat kusta atau healing misalnya, maka akan segera bermunculan informasi yang dicari.

Sekarang ini, kebanyakan orang memanfaatkan teknologi pintar dalam hal medsos, namun tidak banyak yang mampu mencari informasi dan membaca dari sumber yang valid. Akhirnya, banyak yang terperosok berita bohong, atau bahkan stigma lama yang masih dipakai. Sehingga pandangan mengenai penyakit kusta pun masih saja sama. Padahal informasi mengenai kusta ada sudah banyak digaungkan. Tidak semua orang bisa menerima OYPMK karena keterbatasan pengetahuan atau lebih percaya berita yang tidak jelas alias hoaks.

Menurut salah satu sumber yang hadir dalam Ruang Publik KBR yaitu, Ardiansyah selaku OYPMK dan Wakil Ketua Konsorsium Pelita Indonesia. Beliau mengatakan bahwa healing sangat dibutuhkan bagi OYPMK dan penyandang disabilitas. OYPMK lebih banyak menutup diri dan pada akhirnya tidak mempunyai teman untuk bercerita dan berkeluh kesah. Stigma tidak diterima masyarakat terlanjur melekat karena banyak OYPMK yang mengalami. Pada akhirnya, perasaan tertekan dan takut menceritakan penyakitnya membuat OYPMK menutup diri.

Seperti yang dialami Ardiansyah, bagaimana penolakan orang tua dan lingkungan terhadapnya. Rasa tertekan dan penolakan ini membuat Ardiansyah mencari dukungan dari luar. Beruntung sekali Ardiansyah menemukan teman-teman organisasi yang sangat mendukung. Namun tidak semua OYPMK bisa mengatasi penolakan. Ardiansyah memiliki strategi, yaitu:

  • Percaya Tuhan: harus berpikir bahwa ini adalah rencana Tuhan dan manusia tidak tahu rencana Tuhan. Sehingga harus menerima semua yang dialami.
  • Berpikir positif ke depan: ingin berubah atau tidak kembali pada diri sendiri. Yang menentukan langkah ke depan adalah diri sendiri bukan orang lain.
  • Melanjutkan hidup
  • Meng-edukasi orang-orang sekitar

Bahwa semua kembali pada diri sendiri, sehingga orang-orang di sekitar bisa menjadi
support system OYPMK dan penyandang disabilitas.

Ada salah seorang penanya yang menanyakan, mengapa proses healing tidak memanfaatkan kecanggihan teknologi agar OYPMK dan penyandang disabilitas tidak ketinggalan teknologi alias melek teknologi. Menurut Ardiansyah, bisa saja memanfaatkan teknologi. Namun sayangnya, tidak semua berpendidikan tinggi. Banyak yang tinggal di daerah pelosok. Upaya penyembuhan lebih difokuskan pada mengatasi luka hati, yang membutuhkan proses lebih lama dari pada teknologi.

Ardiansyah mengatakan, salah satu cara healing yang mungkin ampuh adalah menulis. Dengan menulis tentang diri sendiri, bisa menceritakan atau menumpahkan segala apa yang dirasakan dan dipikirkan.
Ardiansyah juga membagikan kisahnya tentang langkah kongkrit yang dilakukan saat harus meyakinkan kedua orang tua (terutama ibu) dan orang terdekat. Langkah tersebut adalah:

  1. Meningkatkan kemampuan diri di berbagai bidang (apa yang disukai kembangkan).
  2. Jangan membatasi diri, perluas relasi agar menguasai teknologi dan informasi.

Menjadi OYPMK dan penyandang disabilitas jangan dijadikan alasan untuk menutup diri atau membatasi diri, tetapi buktikan bahwa dalam keterbatasan ada kesempatan yang sama. Di mata Tuhan, semua sama.

Kusta Penyakit Orang Miskin, Benarkah?

Kusta Penyakit Orang Miskin, Benarkah?

Kusta dengan kemiskinan dan daerah tertinggal biasanya sangat identik. Apakah benar kusta identik dengan kemiskinan dan daerah tertinggal? Mengapa demikian?

Kalau kalian mau tahu yang sebenarnya, cobain nonton youtube channelnya Ruang Publik KBR yang bekerjasama dengan NLR Indonesia yang membahas kaitan kusta dengan kemiskinan. Dalam bahasannya KBR dan NLR Indonesia mengundang dua narasumber, yaitu:

  • Sunarman Sukamto, Amd – Tenaga Ahli Kedeputian V, Kantor Staf Presiden (KSP)
  • Dwi Rahayuningsih – Perencana Ahli Muda, Direktorat Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian PPN/Bappenas

Ruang Publik kali ini dipandu host cantik Debora Tanya. Dari talkshow di Ruang Publik inilah aku baru tahu kalau Kusta dan kemiskinan seperti lingkaran setan. Kalau kalian sekedar tahu bahwa kusta biasanya penyakit untuk orang miskin, justru sebenarnya Kusta bisa menjadi salah satu penyebab kemiskinan. Kenapa?

Karena penderita kusta atau akrab dikenal dengan nama OYPMK susah mendapat kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Ketakutan masyarakat pada umumnya akan penularan Kusta membuat mereka menjauhi para OYPMK. Akibatnya OYPMK seringkali mendapatkan diskriminasi yang tidak semestinya hingga kehilangan kesempatan kerja yang mumpuni.

Dari talkshow ini pula aku tahu kalau, pemerintah mengambil banyak langkah dan tindakan dalam mengentaskan kemiskinan bagi para OYPMK. Bagaimanapun juga OYPMK berhak untuk mendapatkan hidup yang layak, berhak mendapatkan kesempatan bekerja sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. OYPMK sama seperti orang pada umumnya. Mereka sudah sembuh, sudah aman bekerja di tengah masyarakat, dan sudah tidak menularkan penyakit.

Pemerintah memberikan pengobatan yang mumpuni dan gratis bagi para penderita kusta. Penderita kusta bisa berobat di manapun di puskesmas yang disediakan oleh pemerintah. Gratis tanpa dikenakan biaya sepeserpun. Dengan pengobatan yang disiplin dan rutin penderita kusta pun bisa sembuh dan tidak menularkan penyakitnya. Sehingga mereka bisa kembali ke tengah masyarakat, beraktivitas dan bekerja seperti biasa.

Langkah Pemerintah Dalam Mengentaskan Kemiskinan Bagi OYMPK

Per Januari 2022 di Indonesia tercatat kasus kusta sebanyak 13.487 dan 7.146 diantaranya adalah kasus baru yang tersebar di 6 provinsi yang terdiri dari 101 kabupaten/kota. Tahukah kalian, kasus sebanyak ini menjadikan Indonesia menempati posisi ketiga terbesar negara dengan penyakit kusta? Bangga? Enggak doong… Semua pihak harus bekerjasama untuk membantu mewujudkan program Indonesia bebas Kusta. Yuk dimulai dengan mengubah stigma yang tersebar di masyarakat, menerima para OYPMK, merangkul mereka untuk beraktivitas di tengah kita dan memberikan hak dan kesempatan yang sama.

Bapak Sunarman Sukamto, Amd mengakui bahwa hingga saat ini upaya perwujudan Indonesia bebas kusta masih menjadi upaya dominan bidang kesehatan, belum ada upaya sinergis lintas departemen. Padahal untuk membawa program ini dibutuhkan peran dan kerjasama banyak pihak, baik dari sektor sosial, ekonomi, pendidikan, ketenagakerjaan, maupun sektor bidang lainnya. Hal ini disebabkan permasalahan kusta sudah menjadi permasalahan multidimensi.

Saat ini kementerian kesehatan mulai meningkatkan usaha pemberantasan kusta, bukan hanya melalui sisi kesehatan berupa pengobatan namun juga mulai merambah di bidang sosial, kesejahteraan ekonomi, pemberdayaan dan sisi lingkungan. Dalam proses pembangunan ke depan, pemerintah mulai memberdayakan para penyandang disabilatas dan OYPMK untuk menjadi stakeholder, terlibat langsung dalam program-program tertentu pemerintah.

Ibu Dwi Rahayuningsih melalui Bappenas rutin mengadakan pendataan untuk memetakan permasalahan dan kebutuhan para penyandang disabilitas dan OYPMK. Ibu Dwi menambahkan pemerintah sudah menyelenggarakan beberapa program untuk mengentaskan kemiskinan bagi OYPMK, di antaranya.

  • Bantuan sembako untuk OYPMK dari golongan tidak mampu berdasarkan database kemensos
  • Bantuan asistensi rehabilitasi sosial dan alat bantu
  • Program kemandirian usaha, terutama bagi mereka yang masih mendapatkan diskriminasi dari lingkungan
  • Penyediaan tempat bagi OYPMK untuk pemberdayaan dan pelatihan, diantaranya ada di Dusun Sumber Glagah, Tanjung Kenongo, Jawa Timur dan ada di Banyumanis – Jawa Tengah, Jongaya – Makassar.

Semua program tersebut bisa diakses dan dimanfaatkan oleh penyandang disabilitas dan OYPMK yang masih berada di garis kemiskinan. Program-program lainnya masih dalam tahap pengembangan dan belum sempurna dalam penyelenggaraannya. Namun begitu diharapkan ke depannya banyak program yang akan dapat diselenggarakan dan dimanfaatkan dengan maksimal.

Lantas, sebagai masyarakat, apa yang bisa kita lakukan untuk membantu kawan-kawan OYPMK? Yuk dimulai dari mengubah stigma dan pola pikir kita akan penyakit kusta dan merangkul OYPMK untuk kembali bermasyarakat dan memasuki dunia sosial beraktivitas seperti yang lainnya.

Dimulai dari sekarang, untuk kehidupan yang lebih nyaman!

Mewujudkan OYPMK Merdeka Dari Stigma dan Diskriminasi

Mewujudkan OYPMK Merdeka Dari Stigma dan Diskriminasi

Ketika mendengar kata “Kusta” apa yang terbersit di benak kalian? Apa yang kalian bayangkan ketika melihat seorang OYPMK atau orang yang pernah menderita kusta? Apakah kalian membayangkan stigma-stigma yang banyak beredar di masyarakat selama ini?

Begitulah yang dialami sebagian besar penderita kusta di tengah masyarakat. Meskipun sudah sembuh, mereka pun masih menyandang status seorang OYPMK, Orang Yang Pernah Menderita Kusta. Status dan stigma tersebut seolah melekat dan akan terbawa ke manapun.

Untuk membantu menggaungkan kesetaraan dan kemerdekaan bagi para OYPMK, Ruang Publik KBR bersama NLR menggelar talkshow rutin yang bisa dilihat di youtube channel KBR.id. Talkshow kemarin membahas tentang “Makna Kemerdekaan Bagi OYPMK, Seperti Apa?”. Menghadirkan Dr. Mimi Mariani Lusli dari Mimi Institute dan Marsinah Dhedhe, seorang aktivis, OYPMK dan penyandang disabilitas, membahas jatuh bangun para OYPMK dan disabilitas dalam mewujudkan kemerdekaan, merdeka dari stigma dan diskriminasi.

Mimi Institute sendiri yang sudah lahir sejak tahun 2009 yang memiliki visi untuk mengajak masyarakat membiasakan diri dengan kehadiran teman-teman disabilitas termasuk kehadiran teman-teman OYPMK dengan ragam-ragam interaksi sesuai dengan kondisi dan kemampuan. Tujuannya agar masyarakat paham bagaimana cara berinteraksi dengan kawan-kawan disabilitas dan OYPMK sehingga mereka tidak merasa terdiskriminasi atau tersisihkan.

Selain itu kegiatan-kegiatan dan kampanye yang diusung Mimi Institute tersebut membantu para penyandang disabilitas dan OYPMK untuk percaya diri dan mandiri dalam berkontribusi di masyarakat seperti yang lain. Karena memang sesungguhnya baik penyandang disabilitas maupun OPYMK memiliki hak yang sama dalam berkontribusi dan berkarya. Hal yang sama diamini juga oleh mbak Dhedhe seorang OYPMK.

Mbak Dhedhe sendiri pernah menderita kusta ketika masih usia sekolah dasar. Support dari keluarga sangat membantu mbak Dhedhe keluar dari lingkarang stigma yang pernah membelenggu. Mbak Dhedhe pun pernah menjadi bagian dari stigma dan ejekan dari kawan-kawannya dan masyarakat. Namun berkat dukungan keluarga, bahkan sekarang mbak Dhedhe sempat lupa kalau beliau seorang OYPMK.

Dukungan besar seperti yang diberikan keluarga mbak Dhedhe membantunya kembali ke masyarakat, berkiprah, berkontribusi dan berkarya tanpa merasa terdiskriminasi. Kemerdekaan berkarya terbukti mampu dirasakan oleh seorang disabilitas sekaligus OYPMK seperti Mbak Dhedhe. Selain dukungan keluarga, peran aktif pemerintah dan instansi BUMN maupun BUMS juga sangat berpengaruh.

Baik pemerintah, BUMN maupun instansi swasta bisa memberikan kesempatan yang sama besarnya kepada penyandang disabilitas dan OYPMK dalam memperoleh pekerjaan maupun ruang untuk berkarya. Instansi-instansi tersebut dapat memberikan sekian persen dari jumlah karyawannya ditempati oleh para disabilitas maupun OYPMK. Kesempatan yang setara dan ruang yang sejajar tersebut akan membantu penyandang disabilitas dan OYPMK kembali ke masyarakat. Dengan interaksi yang optimal, stigma yang ada di masyarakat pun diharapkan dapat berkurang. Maka kemerdekaan yang dicita-citakan para penyandang disabilitas dan OYPMK untuk kembali berkarya dan berkontribusi pun bukan lagi sebatas angan.

Bagi OYPMK maupun penyandang disabilitas yang masih mendapatkan diskriminasi dan menyandang stigma dari lingkungan sekitarnya, Dr. Mimi memberikan saran untuk membuka ruang komunikasi seluas-luasnya. Jangan pernah menyerah untuk membuka ruang komunikasi karena pada dasarnya masyarakat yang menempelkan stigma tersebut disebabkan oleh minimnya pengetahuan dan ilmu tentang Kusta.

Dr. Mimi mengatakan “Kalau masyarakat menjauhi, yuk kita yang mendekati. Karena kalau masyarakat menjauh, dan kita menarik diri juga menjauh, maka akan semakin jauh…” Jadi jangan pernah menyerah untuk terus membuka ruang komunikasi. Ketika dijauhi, tidak perlu lantas menjadi minder dan menarik diri. OYPMK dan penyandang disabilitas berhak untuk mendapatkan perlakuan yang sama, jadi juga harus memperjuangkan hak tersebut.

Jika pemerintah mampu mengubah budaya dari tidak memakai masker sebelum pandemi menjadi budaya memakai masker ketika pandemi, maka jika diberikan informasi yang sama gencarnya tentang kusta, niscaya masyarakat pun akan banyak paham tentang kusta dan karakteristiknya. Kesadaran bahwa OYPMK dan penyandang disabilitas bukan untuk dijauhi akan menjadi budaya baru juga dimasyarakat.

Nah, kita sebagai bagian dari warga masyarakat, sudah selayaknya ambil bagian berperan aktif untuk turut memberikan kesempatan yang sama besarnya bagi para penyandang disabilitas dan OYPMK dalam memperoleh kemerdekaan berkarya. Mereka layak mendapatkan kemerdekaan berkontribusi sama besarnya dalam pembangunan masyarakat. Menjadi insan yang berdaya dan berkarya, sama seperti kita semua. Setuju?

Jenjang Karir Bagi Penyandang Disabilitas dan OYPMK

Jenjang Karir Bagi Penyandang Disabilitas dan OYPMK

Aku punya teman yang tiba-tiba mengalami kecelakaan dan menjadi disabilitas untuk seumur hidupnya. Dulu dia anak yang ceria dan cerdas. Setelah mengalami kecelakaan, penglihatannya banyak berkurang. Low vision, dokter menganalisanya demikian. Jarak pandangnya sangat jauh berkurang.

Kawanku harus menulis menggunakan spidol di buku tulisnya. Ia harus bergantung ke teman sebangkunya untuk bisa membaca tulisan guru di papan tulis. Ia mengalami itu ketika masih usia SD. Kami teman sekelas sejak SD hingga SMA. Ketika itu ia sempat khawatir, gimana nanti hidupnya, apakah ia akan terus bergantung sama orang lain, mampukah dia mandiri, mampukah dia bekerja seperti orang kebanyakan.

Kekhawatiran yang normal tentu saja. Stigma yang tertanam di masyarakat bahwa anak yang mengalami disabilitas itu tidak mampu mandiri, akan terus bergantung pada orang lain. Stigma itu sudah tertanam erat. Kalau ada penyandang disabilitas yang mampu melakukan banyak hal sendiri, selalu dianggap sebagai anak-anak spesial yang tidak semua mampu menjalaninya. Benarkah demikian?

Benarkah semua penyandang disabilitas tidak bisa mandiri? Stigma yang sama juga melekat erat pada OYPMK (Orang Yang Pernah Menderita Kusta). Disabilitas dan OYPMK sering dianggap sebagai orang-orang yang merepotkan. Padahal ketika Tuhan mengambil salah satu kemampuan seseorang, Tuhan akan memberi kelebihan di kemampuan yang lainnya. Itu kalau kalian percaya Tuhan itu Maha Adil.

Stigma yang sama juga dialami seorang OYPMK berdaya bernama Mahdis Mustofa dari Makasar. Bapak Mahdis pernah menderita kusta dan sekarang sudah sembuh. Meski sudah sembuh, bukan berarti stigma berhenti menempel di kepala. Stigma itu terus terbawa bahkan hingga di tempat kerja.

Bapak Mahdis menceritakan beliau mulai bekerja di sebuah rumah sakit di Makassar di bagian cleaning service. Sebuah langkah yang patut diapresiasi untuk sebuah rumah sakit mau menerima OYPMK. Langkah ini ternyata tidak serta merta diikuti oleh staf-staf yang lain. Ketika itu masih banyak yang menolak atau sekedar enggan untuk dekat dengan Mas Mahdis. Bahkan beberapa staf melarang pak Mahdis masuk atau membersihkan ruangannya.

Mas Mahdis bertutur dengan ringan dipandu pembawa acara Rizal Wijaya di acara Ruang Publik KBR pada tanggal 27 Juli 2022 kemarin. Acara yang dibuat bekerja sama dengan NLR Indonesia ini sedianya menghadirkan bapak Agus Suprapto, DRG. M.Kes, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK RI. Namun sayang sekali di tengah acara Bapak Agus harus meninggalkan talkshow lebih cepat karena kesibukan dalam tugasnya. Semoga lain waktu bisa disambung lagi ya, Pak. Obrolannya cukup menarik.

Lebih lanjut Mas Madis menuturkan bahwa menghapus stigma itu bukanlah hal yang mudah. Namun demikian pemahaman masyarakat tentang penyakit Kusta harus terus ditingkatkan. Penderita Kusta yang sudah menjalani pengobatan sesuai petunjuk dokter dan berhasil, tidak akan menularkan penyakitnya. Jadi mereka bisa juga bekerja, beraktivitas dan bersosialisasi sebagai warga masyarakat pada umumnya.

Penderita kusta atau yang sudah berstatus OYPMK (orang yang pernah menderita kusta) bukanlah orang-orang yang kehilangan haknya sebagai masyarakat. Hak sebagai masyarakat tetap melekat dan ada, termasuk hak untuk hidup dan mencari pekerjaan. Karena itu masyarakat dan seluruh stakeholder dapat memberikan kesempatan yang sama lebarnya.

Mas Mahdis yang menyandang status OYPMK juga memiliki kesempatan untuk berkarir dan memiliki jenjang. Kini di perusahaan layanan cleaning service tempatnya bekerja, beliau dipercaya menjadi seorang supervisor. Sebagai supervisor, Mas Mahdis membawahi dua divisi, yaitu divisi luar dan divisi dalam. Divisi luar adalah petugas cleaning service yang bertugas menjaga kebersihan taman di lingkungan rumah sakit, divisi dalam adalah petugas-petugas yang menjaga kebersihan di lingkungan dalam rumah sakit.

Jangan heran jika 80-90% petugas yang bekerja di bawah supervisi mas Mahdis adalah para OYPMK. Mereka pun bisa memiliki kesempatang yang sama lebarnya seperti mas Mahdis. Penghasilan yang diperoleh mas Mahdis juga terbilang lumayan untuk nafkah anak dan istrinya.

Mas Mahdis mengakui bahwa OYPMK pada awal pengobatan mengalami kendala dan keterbatasan fisik. Namun ketika pulih mereka bisa beraktivitas seperti semula. Stigma yang dianggap bahwa OYPMK biasanya memiliki pendidikan rendah memang belum bisa dihilangkan begitu saja. Namun jika diberi kesempatan dan ruang yang sama luasnya, mereka pun bisa berkarya sama hebatnya.

Kendala yang masih sering dialami oleh para penderita kusta dan OYPMK adalah akses menuju tempat kesehatan dan ruang kesempatan yang lebar untuk berkarya. Stigma masyarakat yang menempel erat masih menjadi PR besar bagi pemerintah dalam meningkatkan literasi dan pemahamannya. Semoga kesempatan yang sama lebarnya bisa terus dapat diberikan kepada kawan-kawan OYPMK dan penyandang disabilitas di daerah lain

Mengenal Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi Pada Remaja Disabilitas dan OYPMK

Mengenal Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi Pada Remaja Disabilitas dan OYPMK

“Bunda, gimana caranya sperma bertemu dengan sel telur?” Tanya anakku suatu hari. Saat itu kita sedang membahas tentang proses penyerbukan yang akhirnya melipir dan berujung pada pertanyaan yang cukup mencengangkan tersebut.

Tidak semua orang tua bisa terbuka untuk membahas hal-hal yang dianggap masih tabu seperti ngobrol tentang proses reproduksi manusia. Padahal anak seharusnya mendapatkan akses yang mumpuni tentang pengetahuan tersebut demi kesehatan seksual dan reproduksi mereka. Menjaga kesehatan seksual dan reproduksi pada akhirnya adalah tanggung jawab masing-masing individu.

Apa itu HKSR?

HKSR atau Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi adalah hak yang menjamin kebebasan individu dalam mendapat informasi maupun mengambil keputusan terkait aktivitas seksual dan reproduksi mereka tanpa adanya diskriminasi, paksaan, dan kekerasan.

HKSR adalah hak semua orang, laki-laki maupun perempuan tanpa perkecualian, termasuk remaja penyandang disabilitas dan OYPMK atau Orang Yang Pernah Menderita Kusta. Mengutip dari informasi PKBI atau Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, secara umum, HKSR mencakup hak seluruh manusia untuk:

  • Mencari, menerima, dan mengkomunikasikan informasi terkait seksualitas.
  • Menerima pendidikan seksual.
  • Mendapatkan penghormatan atas integritas tubuhnya.
  • Memilih pasangan.
  • Memilih untuk aktif secara seksual, atau tidak.
  • Melakukan hubungan seks konsensual.
  • Menikah secara konsensual.
  • Memutuskan untuk memiliki anak atau tidak, dan kapan waktu yang tepat untuk memliki anak.
  • Memiliki kehidupan seksual yang memuaskan, aman, dan menyenangkan.

Namun sayangnya masih banyak anak, remaja yang belum mendapatkan haknya tersebut secara penuh, terutama bagi remaja yang menyandang disabilitas dan OYPMK. Bagi remaja penyandang disabilitas dan OYPMK diskriminasi terkait HKSR ini masih sering sekali didapatkan. Bahkan banyak pelecehan seksual yang didapakan oleh remaja disabilitas dan OYPMK tersebut.

Remaja disabilitas dan OYPMK masih sering mendapatkan perundungan terkait aktivitas seksual dan reproduksi mereka. Misalnya masih banyak orang yang takut menikah dengan OYPMK karena menganggap mereka dapat menularkan penyakit atau menurunkan penyakit untuk anak-anaknya. Minimnya akses informasi ini menjadi salah satu kendalanya.

Satu hal yang perlu disadari bahwa sebenarnya remaja disabilitas dan OYPMK berhak mendapatkan perlakuan yang sama dengan remaja pada umumnya. Mereka berhak dihormati dan mendapatkan informasi serta memiliki integritas atas tubuhnya. Agar kasus kekerasan seksual terhadap remaja penyandang disabilitas dan OYPMK tidak lagi terjadi.

Kapan Mulai Bahas HKSR bareng anak?

Pada siaran ruang publik KBR yang berkolaborasi dengan NLR Indonesia, pada tanggal 25 Mei 2022, Westiani Agustin selaku Founder Biyung Indonesia menjelaskan bahwa membahas HKSR bisa dimulai sedini mungkin bersama anak. Memberikan informasi tentang HKSR bisa dimulai ketika proses toilet training pada anak. Saat kita memberikan informasi yang benar tentang bagaimana membersihkan anggota tubuh termasuk organ seksual adalah awal orang tua memberikan edukasi terkait HKSR.

Menurut Nona Ruhel Yabloy selaku Project Officer HKSR dari NLR Indonesia, informasi tentang kesehatan seksual dan reproduksi yang beredar di luar sana banyak, tapi yang benar hanya sedikit. Karena itulah kewajiban kita semua adalah memberikan informasi yang valid dan benar kepada anak-anak. Belajar memberikan informasi ini bisa dimulai dengan menyebutkan kata penis dan vagina tanpa merasa tabu atau ragu kepada anak-anak.

Dengan informasi yang benar, anak-anak akan mendapatkan pengetahuan selanjutnya lebih valid. Orang tua bisa mulai belajar menganggap bahwa ngobrol tentang kesehatan seksual dan reproduksi sama dengan ngobrol tentang ilmu pengetahuan yang lain, seperti matematika, IPS maupun IPA. Dengan menganggap HKSR adalah sebuah ilmu pengetahuan, pelan-pelan orang tua akan menganggap itu bukan lagi hal tabu untuk dipelajari.

Seperti yang sudah dilakukan Biyung Indonesia dengan menerbitkan sebuah buku “Aku Dan Tubuhku”. Buku ini berisi informasi tentang kesehatan seksual dan reproduksi untuk semua, bisa dibaca oleh semua orang baik yang normal maupun disabilitas dan OYPMK. HKSR bukan lagi hal klise. HKSR adalah informasi yang harus diobrolkan dan diberitahukan.

Wihelimina Ice, seorang remaja disabilitas sebagai Remaja Champion Program HKSR berbagi pengalaman bahwa informasi tentang kesehatan seksual dan reproduksi sangat sulit didapatkan. Ice sendiri baru mendapatkan informasi terkait menstruasi dan bagaimana menjaga kesehatan organ seksual setelah menstruasi setelah usianya 13 tahun, jelang siklus haid pertamanya.

Ice beruntung mendapatkan pelatihan bersama NLR Indonesia Untuk Membantu Memenuhi HKSR Bagi Remaja Disabilitas dan OYPMK. Dengan mengenalkan konsep “My Body Is Mine” Ice memahami bahwa tubuh kita adalah milik kita dan menjadi otoritas penuh kita. Itu berarti kita bertanggung jawab dalam mengenali setiap bagiannya, memahami fungsinya, menjaga kebersihan dan kesehatannya serta melindunginya dari niat-niat jahat orang lain.

Informasi lebih lanjut mengenai program-program terkait HKSR yang dilakukan oleh yayasan Biyung Indonesia dan NLR Indonesia bisa dicek di akun instagram kedua yayasan tersebut. Dengan semakin banyaknya pihak-pihak yang sadar tentang pentingnya menjaga hak kesehatan seksual dan reproduksi, semoga kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi semakin berkurang, terutama yang dialami oleh remaja disabilitas dan OYPMK.